Tari
Remo Munali Fatah
(dalam
Perspektif Semiotika)
Oleh
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini
sekitar tahun 1960an seni tari di Jawa Timur mengalami perkembangan cukup pesat
yang didasari oleh perubahan kebutuhan masyarakat. Perkembangan tersebut salah
satunya terdapat pada Tari Remo. Tari Remo adalah sebuah pertunjukan gerak
anggota tubuh dalam bentuk sekaran
(kembangan) yang dibentuk oleh badan, tangan, kaki dan kepala bersama irama
musik sesuai dengan obahing rasa
(getaran jiwa) pengreman (penari
Remo)[1].
Kemuculan Tari ini digunakan sebagai awalan kesenian Tayub, Topeng dan drama
Ludruk[2], penari Remo dijuluki sebagai Teledhek atau Ledhek untuk
menampilkan sajian pembuka.
Tari Remo bagi masyarakat Jawa Timur merupakan
sebuah kesenian tradisional yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi
ke generasi. Transmisi ini didasari oleh karena ide penciptaan Tari Remo bersumber pada identitas lokal masyarakat
Jawa Timur. Melalui perspektif sejarah dapat diketahui bahwa cerita Tari Remo
merupakan penggambaran seorang Ksatria yang sedang berjuang melawan penjajah
Belanda. Penggambaran dan ciri khas tari tersebut membuat Tari Remo menjadi
populer dan terkenal di Jawa Timur. Kepopuleran Tari Remo pada akhirnya memicu
perkembangan struktur bentuk Tari Remo baru. Tahun 1975 muncul beragam gaya
penampilan Tari Remo yang lebih sederhana dan bervariasi. Adapun macam gaya
tarinya dibagi menjadi empat, antara lain: gaya Surabaya, Jombang, Malang dan
Madura.
Beberapa seniman Tari Remo mempunyai kekuatan
individu sebagai sebuah gaya pribadi dalam mengemukakan gagasan, pendapat atau
pemikirannya terkait dengan titik tolak asal-usul dan perkembangan Tari Remo.
Semua hal tersebut terlahir dan terbangun berdasarkan pengalaman dalam
menggeluti pertunjukan Tayub dan Ludruk. Salah satu seniman Tari Remo yang
mengembakan Tari Remo berdasarkan gaya dan gagasan pribadinya adalah Cak Munali
Fatah. Kepenarian gaya Tari Remo Munali Fatah memiliki ciri khas pada pola
gerak yang lebih sederhana dan rapi, mudah diikuti dan dipelajari. Gaya Tari
Remo Munali Fatah lebih menekankan pada penampilan yang anteng, gagah (pidhegsa), patah-patah, manteping rasa (kemantapan rasa tari),
tidak ngoyo (tidak ngotot), tegas dan
tajam[3].
Ketajaman pola gerak gaya Munali Fatah menjadikan
Tari Remonya bebeda dari Tari Gaya lainnya. Ia mencoba mengeksplorasi sikap
tari yang lebih tegap dan menengadah, hal ini ditujukan untuk
menggambarkan sosok Ksatria yang kuat. Terfokus
pada aspek fisik (elemen koreografi), penyajian Tari Remo Munali Fatah beserta
alur ceritanya memiliki ungkapan makna yang digunakan sebagai nilai simbolik.
Dimana ungkapan ekspresi tersebut berisi tentang gagasan yang sarat akan
simbolisasi keprajuritan dan sifat kemanusiaan.
Dalam perspektif semiotika Tari Remo gaya Munali
Fatah pada setiap unit elemen pertunjukan berisi tanda-tanda. Salah satu penari
Remo Munali Fatah bernama K.D Sundari menjadi pembahasan lebih lanjut. Penampilan Sundari saat pentas memiliki
kandungan makna yang lebih dominan. Sundari bergerak untuk menyajikan
representasi yang divisualkan melalui wujud gerak,
busana, make-up dan teknik tari.
hal tersebut dibawakan Sundari secara menyeluruh dari awal pementasan hingga
akhir, dengan demikian penulis dapat memiliki interperetasi pada setiap tanda
yang disajikan.
B. Tujuan Penulisan
Pembahasan Tari
Remo Munali Fatah dalam Perspektif Semiotika memiliki daya Tarik tersendiri
bagi penulis untuk menganalisis dan mendeskripsikan bagaimana sudut pandang
semiotika dapat diaplikasikan pada Tari Remo. Kajian ini dapat dilakukan untuk
memperdalam pemahaman tentang elemen-elemen tanda serta mengetahui makna denotasi dan konotasi
pada Tari Remo gaya Munali Fatah.
C.
Pendekatan
Teori
Sebagai pendekatan pisau bedah dalam menelaah Tari Remo Gaya Munali Fatah dalam Perspektif
Semiotika penulis mengunakan pendekatan semiotika tanda
teater milik Tadeusz Kowzan. Sistem tanda teater Kowzan menawarkan tiga belas
aspek penting diantaranya: 1) kata;
2) nada; 3) mime; 4). gesture; 5) gerak; 6)make-up; 7) hair style; 8) kostum; 9) properti; 10) setting; 11) lighting; 12) musik; dan
13) sound effects. Bagi Kowzan
segmentasi 1-8 di atas berhubungan langsung dengan aktor, sedangkan 9-13 berada
di luar aktor[4]. Artinya
simbol kata, nada, mime, gesture, gerak,
make-up, tata rias dan busana
dapat dianalisis melalui penari Remo, sedangkan properti, setting, lighting, musik dan sound effect dapat diamati melalui pementasan Tari Remo saat dipertunjukan. Teori
semiotika teater Kowzan digunakan untuk melihat sistem simbol pada elemen
koreografi Tari Remo gaya Munali Fatah. Pemilihan teori ini ditunjukan dengan
alasan bahwa sistem tanda milik Kowzan dapat mewakili elemen koreografi pada pertunjukan
Tari Remo. Oleh sebab itu pemaknaan objek oleh penulis dirasa dapat memberikan interpretasi
secara mendalam. Segala sesuatu ditampilkan penari sebagai hasil presentasi
terhadap komponen-komponen struktur tertentu yang kaya akan makna.
Pertunjukan seni Tari dengan pementasan teater
memiliki perbedaan mendasar pada sisitem tanda kata. Tanda kata didefinisikan
sebagai sistem tanda bahasa, yakni tuturan kata-kata para pemain/ aktor (Said:
81). Sistem tanda kata dalam realitas pertunjukan lainnya seperti tari dan
pedalangan tidak diartikan sama, Said menegaskan dalam bukunya Semiotika Untuk Teater, Tari, Wayang Purwa
dan Film bahwa tanda kata dapat berupa gerak, grafis dan lain-lain (81). Dengan demikian sistem tanda kata tersebut
digunakan penulis untuk melihat wujud gerak penari berserta perpindahannya.
Analisis Tari Remo pada pembahasan selanjutnya tidak
mendeskripsi sistem tanda kata pada cakepan oleh penari maupun pesinden, dikarenakan
Tari Remo ini tidak menyajikan syair pada saat pentas. Selain itu, Tari Remo
Munali Fatah dalam pementasannya juga tidak menyajikan properti, sound effects dan syair.
Sehingga analisis penulis akan lebih terfokus dalam mengamati sistem simbol
pada gerak, kata, mime, pola lantai, make-up,
tata rias, busana, panggung dan musik
tari.
PEMBAHASAN
Istilah
Remo berasal dari kata remong yang
berarti sampur, jadi Tari Remo adalah tari menggunakan sampur. Pendapat lain
menyebutkan bahwa arti kata Remo ialah ngremo
“ngerem barang lima”. Barang lima
adalah nilai budaya jawa yang umumnya disebut dalam malima yang berakronim, maling,
main, mabuk, madon dan mamad[5].
Berdasar pada istilah makna nama tarinya, maka Tari Remo lebih banyak
mengungkapkan simbol-simbol tentang eksistensi manusia dan pesan moral yang ditujukan sebagai falsafah hidup
Simbol Tari Remo gaya Munali Fatah muncul dengan dua
wujud bentuk baik tersirat maupun tersurat yang menghasilkan makna denotasi (primer) dan makna konotasi (skunder).
Menurut Art Van Zoest
(1978), makna denotasi
dalam dunia semiotika didefinisikan sebagai arti/makna langsung dari suatu
tanda, yang telah disepakati bersama atau sudah menjadi pengertian yang sama.[6]
Sedangkan makna konotasi adalah makna yang dihubungkan ke nilai-nilai sosial,
moral, ideologis dalam suatu komunitas atau penonton.[7]
Segala sistem tanda saat pementasan berlangsung
dimaknai penulis sebagai sarana komunikasi mengungkapkan maksud atau pesan. Dengan menganut teori sistem tanda milik Kowzan,
komponen pementasan tersebut dibagi menjadi dua bagian, yakni, pertama
berkaitan langsung dengan penari, dan kedua adalah unsur-unsur diluar
kepenarian yang mendukung pertunjukan. Secara structural, pola gerak Tari Remo
dikelompokan ke dalam empat bagian besar yaitu meliputi: bagian A sebagai solah kawitan atau ajon-ajon, bagian B meliputi solah
pangruwat dan solah busana,
bagian C meliputi solah gredoan dan solah badar, dan bagian D meliputi solah pungkasan atau penutup. Konsep
Tari Remo gaya Munali Fatah didominasi oleh volume gerak besar, posisi adeg tanjak kaki membuka lebar, siku lengan di angkat ke atas, arah
hadap yang banyak ke depan. Konsep itu dimaknai sebagai penggambaran bentuk kehidupan masyarakat Surabaya yang
terbuka, apa adanya dan patang menyerah.
Tari Remo gaya Munali Fatah ditarkan oleh K.D
Sundari selama 6 menit 35 detik. Adapun setting
yang digunakan berupa lantai berkramik putih dengan background pintu terbuka. Sedangkan properti setting panggung adalah berupa dua tanaman hijau yang
diletakan di sisi kiri dan kanan. Setting
panggung menvisualkan dua buah soko besar yang digunakan untuk memperindah
sajian bentuk panggung. Selama pementasan berlangsung tidak ada perubahan
setting maupun lighting. Lighting yang digunakan adalah cahaya sinar matahari
dikala sore.
Bagian A disebut
sebagai solah kawitan atau ajon-ajon, Makna denotasi dalam bagian ini adalah
sebagai awalan tari atau pembuka. Pola
struktur gerak Tari Remo pada bagian A dimulai dengan
langkah kaki yang
disertai dengan
suara gongseng. Kemunculan Sundari disorot oleh lampu sinar matahari, yang
seakan menawarkan suasana alam. Sundari keluar melewati setting panggung berupa
pintu kayu berwarna cokelat, hentakan kakinya yang mantap menyiratkan tentang awal sang Ksatria
meninggalkan rumah demi berperang melawan penjajah. Cring, cring, cring-cring
suara gongseng sundari berbunyi riuh dengan langkah yang tegas. perpaduan
busana berwarna merah dengan sampur warna kuning, membuat penonton memusatkan
parhatian pada pementasan Sundari. langkah kaki dan gerak penthangan
tangan memegang sampur menjadi simbol khas Tari Remo gaya Munali Fatah.
Masuknya penari menuju panggung ditandai dengan tabuhan kendhang yang terus di lakukan dengan tempo dinamis, seakan menumbuhkan suasana
riang dan semangat. Setelah keluar dari backstage
ia menuju center panggung dan melakukan
gerak sebalak sampur sebanyak 4 kali
dikuti dengan gedek kepala dan gedruk gongseng. Sundari diawal adegan
muncul dengan ekspresi tersenyum, seakan ingin menunjukan keramahan dan
kenikmatan dalam menari. Namun ekspresi Sundari berubah sesat setelah melaukan
gerak iket, tabuhan kedhang pada
bagian ini lebih lombo. Gerak iket
dilakukan berputar 360 derajat di center panggung.
Perubahan ekspresi Sundari merupakan representasi ide cerita seorang Ksaria, sehingga
kegagahan karakter ingin diperlihatkan Sundari melalui elemen penguatya. Adapun
elemen itu dipadu-padankan dengan volume gerak yang besar, ketajaman gerak dan
iringan bertempo patah-patah.
Make-up Sundari menvisualkan kumis, jenggot dan godek
berwarna hitam, meskipun Sundari adalah wanita tetapi ia terlihat seperti pria.
Penampakan kepenarian Sundari juga dibentuk oleh busana yang dikenakan, seperti
iket kepala dan celana pendek. Setalah melakukan gerak
iket pada gerak sebelumnya, Sundari melanjutkan adegan A dengan vokabuler,
nebak bumi, keter, iket sabetan, tindak lombo-rangkep, dan iket sabetan.
Secara konotasi, bagian ini memiliki makna sebagai awalan kehidupan manusia
dilahirkan.
Komposisi gendhing Tari Remo yang digunakan adalah Gendhing Surabayan Laras Slendro Patet
Delapan. Selama adegan A dinamika musik menonjolkan pada tabuhan saron, bonang penerus, kedhang, kempul
dan kenong. Iringan gendhing
dilakukan secara variasi keras maupun lambat, sehingga aksen gerak Sundari dapat
terlihat secara jelas. Rangkaian komposisi elemen pembentuk koreografi pada
adegan A, dimaknai sebagai simbol ketegasan
yang memiliki kandungan pesan agar
manusia perlu memiliki ketegasan dalam
bersikap.
Pada Bagian
selanjutnya yakni bagian
B terdiri atas solah pangruwat dan solah busana.
Adegan
ini dibuka dengan kipatan sampur,
suara tabuhan gedhing pada adegan B memiliki tempo yang lebih rancak.
Keterkaitan antara gerak pembuka kipatan sampur dengan irama gendhing sebagai
penanda dari perlindungan diri. Interpretasi ini diasosiasika atas dasar sampur
yang digunakan Sundari adalah simbol senjata untuk menghalau musuh. Gerak
nggelap, keter, iket, gendewo lombo-rangkep, iket, tebakan, gedrugan dan iket tanjak, memiliki
makna konotasi melajunya anak panah yang sedang dilepaskan dari busur, seakan
terbesit bahwa dalam
melaksanakan kehidupan manusia akan berhadapan dengan segala hal yang ada
didepannya dengan sikap dan daya budinya secepat melepaskan anak panah.
Bagian ini sebagai tanda kewaspadaan
prajurit terhadap pengaruh sekitarnya saat berperang.
Busana dan make-up Tari Remo dari adegan A hingga
adegan D tidak menampilakan perubahan,
alasanya adalah karena Tari Remo bukanlah tari bergenre drama, tari ini hanya menyajikan
suatu cerita dalam durasi yang tidak lama. Namun kombinasi busana dengan
make-up dan gerak tari merupakan komposisi yang saling berkaitan. Busana yang
digunakan diantaranya iket merah, baju
panjang merah/putih,
celana, kace hitam, sabuk (stagen), sabuk timang, epek timang, boro-boro, kain
jarit, rapek, sembong, sampur, keris, giwang dan gongseng. Busana penari Remo selain menguatkan karaker pada
penari, namun juga ragam
busana dan pilihan warna tersebut
sarat
akan makna latar belakang historis cerita. Salah satu yang unsur kostum yang memiliki makna tanda
adalah keris. Makna denotasi dari keris pada kostum Tari Remo adalah sebuah
pusaka yang dikenakan pada pinggang sebagai pelengkap busana tari. Adapun
makna konotasi busana Tari Remo gaya Munali Fatah adalah sebagai penggambaran kekuatan, kekuasaan, arek Jawa Timur.
Adegan solah
pengruat memperlihatkan keseriusan sang Ksatria dalam berperang, suara
gongseng terdengar lebih menonjol pada bagian ini. Alunan suara kedhang seraya
meneguhkan ekspresi Sundari yang serius. Terdapat perubahan pola lantai yang
dilakukan bergeser ke kanan, ke kiri, ke depan dan ke belakang. Dari sisi
belakang terlihat rambut Sundari yang terikat sebagai penanda seorang
laki-laki. Solah pangruwat adalah sebagai gambaran pemeliharaan diri (jiwa dan
raga), sebagai upaya manusia agar tetap bersih dari segala hal yang bersifat
negative.
Bagian
selanjutnya yakni solah busana, motif geraknya meliputi; ngore
rekmo, singgetan-ceklekan, singgetan seblakan, singgetan gedrugan, iket, ngayam
alas, iket sabetan. Solah busana sebagai tanda kepedulian manusia untuk
merawat badan agar tetap terjaga bersih. Hal tersebut bermakna bahwa dalam
kehidupan, manusia wajib selalu menjaga kehidupan dirinya dengan berbusana
sepantasnya. Sedangkan yang dimaksud busana adalah cara pandang seseorang dalam
kehidupan yang positif bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Gerak gedrug dan ngore
rekmo diulang lebih dari dua kali oleh penari, tambahan ekspresi polatan
mata sedikit membesar seakan menandakan pentingnya gerak ini.
Gedrug dan ngore rekmo adalah
sebagai simbol bumi tempat
mengarungi kehidupan. Gedrug adalah
gerakan kaki menghentak bumi, sebagai perlambang kesadaran manusia atas daya
hidup yang ada di bumi. Sedangkan Ngore Rekmo sebagai simbol menghias diri yang
berkonotasi sebagai pesan manusia
harus dapat mengurai segala persoalan yang menitari kehidupan dirinya.
Selanjutnya adalah bagian C terdiri dari dua bagian, yaitu solah gredoan dan solah badar. Solah
gredom dibuka dengan bunyi rangkep dan gedek. Penari seakan ingin menonjolkan
karakteristik sebagai seorang prajurit yang merindukan kemenangan. Tanda yang
berkaitan erat dengan karakter tersebut didukung oleh motif gerak gredoan yakni meliputi; tranjalan,
singgetan, entrog lombo-rangkep, singget-tepisan, singget klewasan, nyeblak
tebakan, keter, iket. Motif gerak tari Remo memiliki
unsur-unsur pencaksilat Jawa Timur yang ditandai oleh gerakan lengan dan
tangan, gerakan kaki, dinamika dan kecepatan. Ekspresi tanpa senyum yang di
lakukan Sundari dengan iringan tabuhan semakin cepat menambah semarak sajian ini. Seblak
sampur kekanan dan kekiri diikuti oleh tolehan kepala menjadikan pertunjukan
semakin memanas. Hal ini juga sebagai tanda kekuatan Ksatria yang tidak mudah
menyerah melawan musuh, makna tersebut divisualkan melalui gerak singget-tepisan yang di ulang sebanyak
dua kali, gerak ini merupakan simbol dari kecekatan. Gerak tepisan dilakukan di
depan perut, sebagai tanda pusat lumbung udara.
Busana merah, celana hitam dan aksesoris berwarna
hitam keemasan terasa kontras dengan pencahayaan sinar matahari. Suasana alam terasa
lebih kuat ketika Sundari mendekati properti tanaman yang diletakan di sudut
kanan dan sudut kiri kemudian diikuti gerak solah
badar. Solah badar terdiri dari gerak tari yang dilakukan sambil
bergerak berpindah tempat. Motif gerak yang ada bagian ini antara lain; ayam alas, iket-nglandak, tlesikan
lombo-rangkep, iket, tatasan lombo, lampah lombo, iket, tatasan kerep, lampah
kerep, iket sabetan. Makna konotasi pada bagian solah gredoan adalah sebagai gambaran perjalanan manusia dalam
kehidupan di dunia yang berliku dan penuh dinamika. Hal itu bermakna dalam
kehidupan manusia harus menyisir berbagai persoalan atau kesulitan yang dialami
dengan penuh daya sebagai suatu hal yang wajar dan diahadapi sebagai pengalaman
yang memberikan pelajaran tentang hidup. Selanjutnya, solah badar dimaksud sebagai sesuatu yang telah meninggalkan tubuh
manusia. Hal tersebut mempunyai pesan bahwa, pada saatnya seseorang akan meninggalkan
keduniawiannya, yaitu telah badar dan telah kembali pada kehidupan yang hakiki
di alam kelanggengan.
Bagian tari
D yaitu solah pungkasan, memiliki
makna denotasi sebagai bagian penutup. Tidak banyak motif gerak
yang ditampilkan Sundari pada bagian ini, sebagai puncak sajian bagian ini
memiliki simbol kemenangan Ksatria saat berperang. Adapun motif geraknya antara lain; ayam
alas, iket sabetan, bumi langit kanan, iket sabetan, bumi langit kiri, iket
sabetan, bumi langit deoan, tanjak.. Suara tabuhan gamelan
pada bagian D terdengar lebih cepat, hal itu dilakukan karena bagian D adalah
klimaks dari Tari Remo gaya Munali Fatah. Nada yang didengarkan lebih
mendominan pada ketukan bonang serta bunyi kendhang bertempo makin cepat. Pada akhir Tari Remo
penari tutup dengan gerak sembahan dan
berputar sebagai tanda syukur. Gerak berputar diakhiri pada center panggung. Secara keseluruhan
bagian D memiliki makna
konotasinya sebagai akhir kehidupan, yang bermakna bahwa pada saatnya manusia
harus meninggalkan dunianya dan jiwa raganya untuk kembali pada pangkuan Tuhan
Yang Maha Esa.
KESIMPULAN
Perkembangan selera masyarakat Jawa Timur terhadap
seni tari mendorong Tari Remo berubah menjadi bentuk baru, salah satu gaya yang
ditawarkan adalah Tari Remo gaya Munali Fatah. Adapun karakteristik yang
ditonjolkan ialah bentuk yang sederhana, mudah diikuti dan menekankan pada
kekuatan gerak. Tari Remo gaya Munali Fatah dibagi menjadi 4 adegan yakni solah
kawitan atau ajon-ajon, solah pangruwat dan solah
busana, solah gredoan dan solah badar, dan terakhir solah pungkasan atau penutup.
Keseluruhan adegan di maknai menggunakann teori Kowzan, seluruh elemen
koreografi digunakan sebagai sistem tanda yang saling berhubungan. Menggunakan
paradigma ilmu semiotika Kowazan, Tari Remo Munali Fatah memiliki makna
denotasi seorang Ksatria yang berperang melawan penjajah Belanda, alur cerita
yang disajikan dimulai dari perjalanan sang Ksatria meningglkan rumah,
berperang dan diakhiri oleh kemenangan. Sedangkan makna Konotasinya yakni
tentang eksistensi dan pesan moral kepada masyarakat, seperti ma lima (ngerem barang lima) yang
digunakan sebagai falsafah hidup dan pesan religi.
DAFTAR PUSTAKA
Hefner, Robert W. 1985. The
Politics of Popular Art: Tayuban Dance and Culture Change in East Java.
Indonesia.
Sahid, Nur. 2016. Semiotika Untuk
Teater, Tari, Wayang Purwa, dan Film. Gigih Pustaka Mandiri. Semarang.
Source > http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/ (diakses tanggal 10 Maret 2017, pukul:21.24 WIB).
Wibisono, Tri Broto. 2015. Tari Ngremo Catatan dari Panggung ke Panggung. Dewan Kesenian
Provinsi Jawa Timur. Surabaya.
van Zoest, Art. 1992. Serba Serbi Semiotika. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
van Zoest, Art. 1993. Semiotika
Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Yayasan
Sumber Agung. Jakarta.
*
Ujian Tengah Semester Mata
Kuliah Semiotika Seni, Dosen Pengampu: Dr. Nur Sahid, M.Hum. Program Studi
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas
Gadjah Mada, 2017
[1] Tri Broto
Wibisono, “Tari Ngremo Catatan dari
Panggung ke Panggung”, Dewan Kesenian Jawa Timur: 2015 (hal: 3).
[2] Robert W
Hefner, “The Politics of Popular Art:
Tayuban Dance and Culture Change in East Java”. Indonesia, 1987 (hal: 79).
[3]Tri
Broto Wibisono, “Tari Ngremo Catatan dari
Panggung ke Panggung”, Dewan Kesenian Jawa Timur: 2015 (hal: 116).
[4] Nur
Sahid, “Semiotika: untuk Teater, Tari,
Wayang Purwa, dan Film”, Gigih Pustaka Mandiri: 2016 (hal: 69)
[5]
Tri Broto Wibisono, “Tari Ngremo Catatan dari Panggung ke Panggung”, Dewan Kesenian Jawa
Timur: 2015 (hal: 46-47).
[6] Source
> http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/ (diakses tanggal 10 Maret 2017, pukul:21.24 WIB)
[7] Nur
Sahid, “Semiotika: untuk Teater, Tari,
Wayang Purwa, dan Film”, Gigih Pustaka Mandiri: 2016 (hal: 120)
Berarti bisa disimpulkan Remo Munali Fattah memiliki Habitus tersendiri dan ketika kita menarikannyapun kita juga memiliki habitus itu sendiri. Bagaimana menurut saudari? AFR
BalasHapus