MEMBACA
TANDA DALAM ‘PINA’
Latar
Belakang
‘Pina’
adalah judul sebuah film yang disutradarai oleh Wim Wenders sebagai dokumentasi
3D atas karya-karya Pina Bausch. Film yang mulai diproduksi pada 2009 awalnya
merupakan proyek kolaborasi Pina dan Wim Wenders, namun dua hari menjelang
shooting dilakukan Pina Bausch meninggal dunia. Berkembanglah film ini menjadi
sebuah persembahan untuk Pina (tribute to
Pina) yang diputar untuk pertama kalinya akhir 2011 di Amerika[1].
Philipine
(Pina) Bausch adalah seorang koreografer pembaharu pada zamannya dan dikenal
kerap menghadirkan karya-karya jenis dance
theater (teater tari), bahkan ketika
orang mendengar dance theater impresi
pertama yang diingat adalah sosoknya. Berkenaan dengan hal itu, perbincangan
mengenai Pina pun erat terkait dengan Wuppertal Tanztheater Jerman. Pemberian
nama tanztheater (dance theater) pada
‘lembaga’ ini pun dibubuhkan oleh Pina dari semula hanya teater saja. Pina,
yang lahir di tahun 1940, tubuhnya terdisiplinkan dengan vokabuler tubuh tari
Ballet klasik selayaknya kebanyakan anak yang lebih terarah untuk belajar tari
Ballet pada waktu itu. Seiring berjalannya waktu dan pengalaman belajar yang telah
ditempuh, Pina lalu menginginkan untuk berkreasi dan melampaui aturan tari
Ballet yang mengekang. Pina meliarkan imajinasinya meskipun beberapa menjadi
catatan yang kontroversial di kalangan kritikus. Banyak karya telah lahir dari
tangan Pina dengan genre dance theater
dan juga beberapa film Pina maupun tentangnya bersama Wuppertal Tanztheater.
Manusia
mengenal simbol-simbol termasuk juga dalam bahasa yang selalu digunakan setiap
hari, sebagaimana yang telah diungkap Saussure bahwa bahasa merupakan sistem
tanda yang paling lengkap[2]. Apapun
bentuknya, seni juga bahasa simbol yang dapat diterjemahkan dalam artian
sebenarnya (denotatif) ataupun kiasan (konotatif). Seperti yang diungkap oleh Elam bahwa seni
merupakan sebuah entitas yang terdiri dari sekumpulan tanda-tanda. Kowzan pun
mengelompokkannya dalam tanda natural dan tanda artificial[3].
Teks karya seni memunculkan atribut-atribut yang dimaknai sebagai benda sebenarnya, namun seniman tentu memiliki
alasan atas kehadiran teks-teks tersebut. Konstelasi sebuah teks pun memuat
kontestasi penafsiran, tampak ketika proses kreatifnya telah usai dan
disampaikan pada penonton atau penikmat seni, karya itu kemudian dapat memiliki
interpretasi yang beragam dari orang yang menonton atas tanda yang dihadirkan
oleh seniman. ‘Pina’ pun demikian halnya, film itu mengartikulasikan tentang
sosok seorang Pina Bausch baik dilihat dari karya, prosesnya berkarya, maupun hidup
yang ia warnai dengan tarian. Bagaimana konstruksi pemikiran yang dibangun oleh
Pina hingga kemudian melahirkan anak didik yang merindu sosoknya.
Melihat
Pina menjadi penting sebagai sebuah referensi, melihat kemungkinan-kemungkinan
yang dilihat oleh orang dapat menginspirasi baik dari sisi mengemas pertunjukan
itu, gagasan yang diusung, maupun motivasi dibalik karya yang ditampilkan. Dance theater di Yogyakarta dilakukan
oleh seniman Bimo Wiwohatmo yang secara terang-terangan dalam kelompok atau
institusi bentukannya dibubuhkan nama Bimo Dance
theater (BDT). Ulasan dalam artikel ini yang mengulik ’Pina’ diharapkan akan dapat mengakrabkan
bagaimana dance theater ini digagas
oleh Pina dan serta bagaimana ia menghadirkan tanda-tanda dalam karyanya.
Tujuan
Artikel
ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai ‘Pina’ dan tanda-tanda yang
terdapat di dalamnya, sebagai wawasan, membantu pemahaman, bahkan pematik untuk
seniman (secara khusus) untuk berkarya.
Landasan
Teori
Tari,
teater, dan film memiliki kedekatan dalam sistem pemaknaan tandanya, maka 13
sistem tanda yang digagas oleh Kowzan akan digunakan dalam analisisnya. Kowzan
menilik dari elemen-elemen pembentuk karya sehingga dirasa cocok untuk melihat
permasalahan ini. Seperti kata, nada, gesture,
mime, gerak, tata rias (make up),
tata rambut (hairstyle), busana (kostum), properti, tata cahaya (lighting), setting, musik, dan efek suara (sound
effect). ‘Pina’ termasuk dalam kategori ketiganya (tari, teater, film) karena karya
tersebut merupakan pertunjukan dance
theater yang dikemas dalam bentuk film. Pandangan yang akan disajikan dari
sudut pandang penulis sebagai pembaca karya, sebagaimana yang diungkap Roland Barthes
mengenai ‘the death of the author’. St.
Sunardi menyampaikan bahwa kematian pengarang disini bukan menghilangkan atau
menisbikan pengarang (creator), akan tetapi otorisasi dari pengarangya lah yang
dihilangkan. Wacana dari teks yang telah didistribusikan pada penonton menjadi
wilayah penonton untuk memberikan analisanya.
Pembahasan
Pina
Bausch fokus pada pengerjaan genre dance
theater. Genre tersebut dipilih sebagai bentuk resistensinya terhadap
pendisiplinan yang ia dapatkan di tari Ballet. Tubuh sebagai objek yang dikenai
beberapa aturan untuk mendapatkan tubuh ballet yang ideal. Lalu Pina mencari
kemungkinan pengolahan lain yang kemudian ia realisasikan dengan bereksperiman
atas tubuhnya sendiri, meski dalam beberapa karya kosa gerak Ballet dihadirkan.
Kehadiran kosa Ballet di antara kosa gerak lain dengan menanggalkan beberapa
‘pakem’ yang melekat justru semakin menandaskan asa dekonstruksi yang
diusungnya. Norbert Servos menyatakan :
“Dance theater, a mixture of dance and
theatre modes, opened up a new dimension for both genres. Basically the term
stood for a kind of theatre that was aiming at something new both in form and
content”
Tulisan
Servos tersebut mengungkap jenis genre yang ditekuni oleh Pina ini menjadi
sebuah dimensi baru. Tidak dapat disebut sebagai tari saja atau teater saja
tetapi keduanya, teater tari (dance
theater). Sebuah bentuk baru baik
dari sisi bentuk maupun konten. Beberapa karya Pina terdapat penokohan, narasi
verbal, pengolahan gestur, juga gerak tari sebagaimana yang ia ungkap sebagai Ausdruckstanz (tarian ekspresi / dance
of expression). Secara umum tari
memiliki dasar elemen waktu, ruang, dan tubuh (time, space, and body art). Kemudian
menjadi hal yang menarik ketika Servos
melanjutkan dalam analisanya bahwa Pina berusaha mendekatkan sebuah kata
koreografi pada definisi terdekat sebagai sebuah koneksi antargerak. Pina tidak
mengkoreografikan material tertentu namun ia mendudukkan elemen individual di
dalamnya, dengan dance theater ia
mengakomodir energi dalam tubuh dan menjadikannya sebagai sejarah ketubuhan.
Rekonseptualisasi
inilah yang sejalan dengan asa postmodernisme.
Shu-Lan Miranda Ni dalam desertasinya menyebutkan bahwa Pina berkarya
dengan interdisiplinaritas dan saling
silang genre[4].
Batas-batas kategorisasi dalam sebuah ruang pertunjukan semakin semu, hal ini
ditunjukkan dalam ‘Pina’ yang menghadirkan dance
theater dalam film. Dance theater
yang biasa dilihat dalam sebuah kemasan pertunjukan di atas panggung atau di
tengah area publik dilihat langsung oleh penonton, kali ini melalui filter
kamera. Hal tersebut bukan juga hal yang mudah, Roxborough mengungkap paparan
Wenders bahwa ketika pertunjukan direkam oleh kamera ketika mengambil satu sisi
maka sisi lain yang ‘dibelakang’ kamera tidak terlihat maka film ini kemudian
dikemas dengan teknologi 3D. Kendala mengenai ruang pun terselesaikan, namun
kendala lain muncul yakni gerak. 3D tidak dapat menangkap gerak yang berpindah
dengan cepat, maka perlu penyesuaian dalam beberapa hal.[5] Sebuah
tawaran alternatif, mata penonton diwakilkan oleh mata kamera dalam melihat pertunjukannya.
Kemudian penonton mlakukan pembacaan atas apa yang ditangkap oleh mata kamera.
Wenders dengan jeli tak menyia-nyiakan kesempatan ini, justru ‘Pina’ membuat
penonton merasa yakin bahwa ‘Pina’ hanya bisa dinikmati dan dibaca dari depan
layar kaca. Hal itu berkenaan dengan sudut pengambilan gambar dan penyusunan
adegan satu ke adegan yang lain.
‘Pina’
menunjukkan kolase perjalanan Pina Bausch semasa hidupnya. Karya-karya unggul
Pina hadir di sebuah panggung pertunjukan, dicerap lalu dihadirkan kembali
dalam bentuk dan penyajian yang berbeda oleh orang-orang yang pernah berproses
bersama Pina. Satu persatu mengantarkan dengan menarasikan Pina dalam tuturnya,
raut wajah mereka tampak muram dalam mulut yang terkatup beberapa diantaranya
tersenyum simpul, setiap mata terlihat merindu sosok Pina. Mereka bertutur atas
diri Pina dan bagaimana ia berkarya. Dari susunan adegan per adegan tampak
menuntun pada perjalanan hidup Pina sebagai Pina dan Pina sebagai manusia. Hal
tersebut ditunjukkan dari pemilihan karya pertama yang dihadirkan yakni Danza.
Danza
muncul dengan mengartikulasikan 4 musim: musim semi, musim panas, musim gugur,
dan musim dingin dalam bentuk gerak. Musim-musim ini sebagai penanda atas
penggambaran hidup yang dilalui. Ide mengenai musim itu lantas dituangkan ke
dalam bahasa gerak tiap musimnya. Seorang wanita berdiri di tengah panggung,
tubuh kurusnya hanya dibalut celana dalam besar, tampak ia membawa alat musik
accordion digantungkan seperti tas ransel di depan tubuhnya sebagai busana,
lalu sepatu high heels berwarna hitam
menghias kaki jenjangnya. Ia menyebut nama musim-musim itu sembari menggerakkan
kedua tangannya. Hal tersebut menjadi upaya untuk menyepakati pemaknaan tanda.
Secara langsung ditanamkan kesepakatan dengan penonton, bahwa ketika kedua
tangan berada di depan pusar dan bergerak ke arah luar (kanan dan kiri)
menggambarkan musim semi (spring). Musim semi itu tampak memiliki makna kiasan
bagi kemunculan awal kehidupan. Kata ‘spring’ yang dituturkan oleh wanita itu
sebagai petanda, gerak tangan seperti yang telah disebut di atas sebagai
penanda. Kedua hal tersebut juga sebagai petanda dan makna kias dari musim semi
itu sebagai penanda. Begitu pula pola pemaknaan bagi musim yang lain. Musim
panas (summer) digerakkan dengan mengangkat tangan kanan menyerupai bentuk
matahari (penanda), lalu ketika musim gugur (autumn) digambarkan seperti daun
jatuh. Hingga kemudian musim dingin (winter) datang dengan gerak mengatupkan
kedua tangan dan menggigil (penanda). Setiap orang dianggap telah memiliki
pengalaman empiris bagaimana respon tubuh ketika berada dalam
masing-masing musim itu (denotatif). Di
sisi lain, serangkaian gerak itu memiliki makna konotatif bahwa manusia lahir
lalu mengalami proses hidup kemudian gugur (meninggal) dan menyisakan hawa
dingin bagi orang yang ditinggalkan. Makna lain yang tersirat bahwa dalam hidup
manusia mengalami pergerakan dalam babak-babak kehidupan. Satu rangkaian gerak
ini dilakukan oleh beberapa orang dengan berbaris dalam irama yang konstan dan repetitif.
Bagian ini ditangkap juga sebagai pengantar penonton bahwa awalnya Pina belajar
tari dari sesuatu yang sifatnya membutuhkan keajegan.
Secara
keseluruhan, film ini terjadi atas beberapa karya utama dan yang lain menjadi
sebuah karya turunan. Karya utama cenderung memilih tempat di panggung
pertunjukan, sedang karya turunannya berada di luar bangunan permanen. Pada
bagian awal yang menjadi karya utama adalah ‘Death Can Dance’ dan ‘Café Müller’.
Makalah kali ini akan lebih menyorot pada Death Can Dance dan turunan karyanya
yakni Fall Dance dan Eskalator. Karya-karya Pina cenderung repetitif berkesan
memberikan aksen penebalan atas apa yang ingin ditandaskan.
Death Can Dance
Adegan
pertama dibuka dengan persiapan tempat
yakni meletakkan pasir di panggung, meskipun panggung (stage) merupakan area
konvensional hingga keberadaan pasir mengaburkan ‘kekonvensionalannya’. Pertunjukan
dibuka dengan seseorang yang tidur di
atas selembar kain berwarna merah, rupanya itu gaun. Suasana musik tenang namun
misterius, lampu panggung yang menyorot padanya tampak membuat ruang sempit
hanya bisa dilalui oleh satu orang. Beberapa penari yang lain datang lalu
merebahkan diri menyebar di beberapa titik. Hal ini secara konotatif tampak
mereka adalah turunan pikir dari gadis yang merebahkan diri di selembar kain
itu, orang-orang yang datang menjadi representasi dari hal-hal dari luar
dirinya yang berkecamuk. Lalu ia mulai bangun dan meraba kain merah (petanda)
itu seolah mempertanyakan ini apa dan dijawab bahwa itu adalah kematian
(penanda) maka ia dengan segera melepas dan membuang kain yang berada di
tangannya dengan raut wajah menegang. Orang-orang saling merapat tampak seperti
menjadi satu koloni dengan pandangan mata yang tertuju pada kain merah. Kamera
menuntun fokus pada kain merah lalu penari bergerak bersama (rampak simultan). Kemudian
adegan bertumpuk dengan peristiwa latihan yang dilakukan oleh Pina dalam gerak
yang sama. Tergambar suasana ketika Pina mengajar. Hal ini menyiratkan bahwa spirit
karya Pina dapat terus dilanjutkan, absennya Pina secara fisik tak menyurutkan
kehadirannya melalui karya yang dibawakan oleh murid maupun orang-orang yang
pernah berproses dan mengikuti jejaknya.
Adegan
kedua, kelompok rampak wanita ditambah oleh kelompok pria. Para wanita
menggunakan gaun sepanjang lutut berwarna krem senada dengan warna kulit. Para
pria itu seragam tak menggunakan baju atasan dan hanya menggunakan celana
panjang berwarna hitam. Beberapa gerak yang dihadirkan oleh kelompok wanita
maupun pria merupakan kosa gerak Ballet yang diolah kembali, seperti lompatan.
Kosa Ballet ini terlihat sebagai sebuah upaya resistensi dari Ballet yang lekat
dengan aturan-aturan seperti pakaian, rok tutu dan sepatu ballet. Pertunjukan
ini menawarkan hal yang sebaliknya yakni dengan pakaian yang ‘sederhana’,
bertelanjang kaki, bahkan beralaskan tanah.
Kelompok
pria dan wanita menari dengan saling bersebarangan. Ada satu orang yang
terpisah dari kelompoknya lalu melihat gaun merah itu. Gerak para wanita
menarik tangan dengan tegas menunjukkan ada tarik menarik dengan kematian
(konotatif) yang disimbolkan dengan gaun merah namun juga tampak seperti
menyakiti diri dengan memukul dan menusuk diri, sementara seseorang laki-laki
muncul sebagai seorang tokoh. Kesakitan itu berkonotasi pada roda kehidupan
manusia yang tengah berada di ‘bawah’, dapat juga ditarik atas pengalaman sakit
Pina diujung hidupnya. Lalu bernarasi
bahwa ada yang meninggalkanmu hingga tak bisa lagi berkata-kata, yang bisa
dilakukan dengan menyembunyikan. Kata-kata
pun bahkan tak dapat berbuat lebih, disitulah tari datang. Serupa dengan
pernyataan Pina dalam pidatonya[6] :
“Actually, the
whole time I only wanted to dance. I had to dance, simply had to dance. That
was the language with which I was able to express myself.”
Pernyataan
Pina tersebut menunjukkan bahwa tari memiliki kedudukan yang penting dalam
dirinya, untuk menuangkan ekspresi bahkan menyuarakan mengenai diri sebagai
alat komunikasi.
Close up
wajah Pina yang mulai renta hadir kemudian membuat interpretasi menjadi
berkembang, apakah gaun merah itu justru diibaratkan secara bergantian
laki-laki dan perempuan melihat gaun itu. Penari putri berjingkat seperti
memakai sepatu Ballet namun mereka nyatanya bertelanjang kaki, penari wanita
membuat lingkaran dan salah satu diantaranya mengambil gaun merah sembari
berkontak mata dengan satu penari laki-laki. Para wanita tampak ingin
melindungi sesuatu. Satu persatu dari wanita-wanita itu datang pada sang lelaki
yng bertubuh kurus dan jangkung itu, disini peran kamera menjadi mata si tokoh
laki-laki sehingga air muka dan keintiman relasinya menjadi berbeda, menjadi lebih
erat. Penonton pun diberi tantangan melalui sudut pandang penari, membuat jaraknya
semakin dekat. Raut wajah yang ketakutan dari masing-masing wanita tampak
jelas, wanita yang akan menyerahkan gaun
merah itu saat akan disentuh justru lari menjauh dan menyerahkan gaun merah itu
pada wanita lain. Hingga akhirnya satu orang terakhir ditarik oleh si
laki-laki.
Adegan
ketiga. Wanita yang ditarik itu telah berganti baju dengan gaun merah. Ketika
dibawa ke arena tengah masyarakat, orang-orang lantas menghindarinya. Hal ini
menunjukkan ada sesuatu yang janggal dari gaun itu. Tarian berakhir ketika
wanita berkain merah itu lepas dari tangan si laki-laki. Tampak ingin pergi dan
ada masalah baru di luar sana. Kumpulan orang yang lain memusatkan perhatian
pada gadis bergaun merah tampak akan menikam.
Pertunjukan
yang dimulai pada menit ke-15 tersebut membawa penonton dalam ruang imajinasi beragam.
Suasana teater terasa karena adanya penokohan dan raut wajah yang berubah dengan jelas, lalu
dikuatkan pula oleh gerak tarinya. Mata penonton harus mengikuti mata kamera dimana
ia akan membawa pada gambar yang mana menjadi elemen dari film, terlebih musik
iringannya pun tampak seperti orkestra yang selayaknya ada dalam film maupun
tari Ballet.
Death
can Dance secara keseluruhan menyiratkan (dan sebagai pengingat) bahwa bayangan
kematian senantiasa menari-nari dalam setiap diri yang bernyawa, bahkan bagi
sebagian orang itu mengerikan dan menjadi sebuah ancaman. Kematian pun akan
datang dengan pasti tanpa dapat ditolak secara sadar. Di sisi lain, pertunjukan ini pun membawa penonton
(tentunya) pada sosok Pina. Death can dance, Pina yang telah tiada (meninggal)
pun ‘bisa’ menari. Menari melalui jiwa dan tubuh orang-orang yang mengikuti
jejaknya. Hadir dalam diri setiap orang yang ingin menari untuknya, menarikan
karyanya, maupun mendapatkan inspirasi dari sosoknya.
Fall
Dance
Usai
‘Death can Dance’ dua tokohnya tampil kembali di sebuah taman pada siang hari dengan
pakaian formal. Sang wanita mengenakan gaun panjang berwarna hitam dengan motif
polkadot merah, sedangkan tokoh pria menggunakan setelan jas berwarna abu-abu. Hal
ini dibaca sebagai pembalikkan dari ‘Dead Can Dance’ sekaligus berkelanjutan. Pemilihan
tempat pertunjukan Fall Dance di area terbuka (outdoor) memberikan sebuah tawaran lain, tata cahaya alami pada
siang hari dengan cahaya matahari pun menegasikan stage yang gelap dan serba hitam. Tempat pertunjukan Fall Dance
memiliki tiga level dalam satu bingkai yakni taman (area rumput), ‘panggung’
(area bertangga), dan latar belakang bukit beserta pepohonan sebagai background. Ketiga level tersebut
sebagai sebuah petanda bagi kehidupan manusia yang juga tidak berada dalam satu
level yang sama. Ada kalanya manusia berada di tempat yang ‘tinggi’ dan
terkadang berada di posisi yang ‘rendah’. Seolah hal tersebut juga menunjukkan
bahwa Pina dapat berkarya di area yang beragam, yang terpenting adalah ekspresi
serta olah rasa yang tertuang. Ketika berada di area stage justru memakai pakaian ‘sederhana’ dan bertelanjang kaki,
sedangkan ketika berada di luar justru bersepatu dan berpakaian formal. Hal ini
pun menyiratkan bahwa panggung adalah milik performer
untuk menuangkan gagasan bahkan mengenalkan diri. Konvensi pun ditabrak, bahkan
yang terlihat panggung ‘formal’ dibarengi dengan busana ‘nonformal’ sedangkan
panggung ‘nonformal’ dengan pakaian formal dalam konteks pertunjukan ini.
Pemeran
wanita dan pria dalam Fall Dance merupakan pemeran tokoh dalam ‘Dead Can
Dance’. Wanita bergaun merah yang melangkah pergi dan pria yang mengulurkan
tangan kanannya, adegan tersebut terintegrasi dengan adegan Fall Dance. Wanita itu jalan
terlebih dahulu kemudian pria mengikuti sembari memerhatikan wanitanya, ketika pria
itu berada di depannya menangkap sang wanita yang menjatuhkan diri ke depan
dengan pasrah lalu dituntun untuk berdiri lagi dengan mundur. Hal itu terulang
hingga kali ke tiga dan ditutup dengan arah jatuh ke kanan penonton. Dalam
tarian ini dipilih iringan musik The Here and After dari Jun Miyake, berikut
liriknya :
spawn inside
this memory again
one earthbound minute, unbent
a moment broken
softly spoken, magic
so here we are
night has thrown its heels at our door
and stormed its way in, bidden
our feet in drunken incantations, moving
happily, happily, ever after
with kisses and curses, dripped in laughter
one earthbound minute, unbent
a moment broken
softly spoken, magic
so here we are
night has thrown its heels at our door
and stormed its way in, bidden
our feet in drunken incantations, moving
happily, happily, ever after
with kisses and curses, dripped in laughter
happily, happily, would I disappear
wishes and wasted breath
at closest dreaming
so far away
counting down
in twos and in threes
with never a word, out loud
this hidden temple, decalescent, stepping
happily,
happily, ever after
with kisses and curses, dripped in laughter
hurry to lay it down
where I've made my bed
wishes and wasted breath
at closest dreaming
with kisses and curses, dripped in laughter
hurry to lay it down
where I've made my bed
wishes and wasted breath
at closest dreaming
so far away
as we grow
as we go
to the here and after
I've never forsaken you
that's really something
so hurry to lay me down
where I've made my bed
as we grow
as we go
to the here and after
I've never forsaken you
that's really something
so hurry to lay me down
where I've made my bed
tends to a
wilted pale
throwing up a beat
kick it down
throwing up a beat
kick it down
This son
Terjemahan bebas:
membiakkan di dalam memori
ini lagi
satu menit membumi
saat rusak
lembut berbicara, sihir
jadi di sini kita
malam telah dilemparkan tumit di pintu kami
dan menyerbu jalan di, diperintahkan
kaki kami di mantra mabuk, bergerak
gembira, bahagia, selamanya
dengan ciuman dan kutukan, menetes di tawa
gembira, bahagia, akan saya menghilang
keinginan dan napas terbuang
di bermimpi terdekat
begitu jauh
menghitung mundur
berdua-dua dan bertiga
dengan tidak pernah kata, suara keras
ini candi tersembunyi, loncatan
gembira, bahagia, selamanya
dengan ciuman dan kutukan, menetes di tawa
satu menit membumi
saat rusak
lembut berbicara, sihir
jadi di sini kita
malam telah dilemparkan tumit di pintu kami
dan menyerbu jalan di, diperintahkan
kaki kami di mantra mabuk, bergerak
gembira, bahagia, selamanya
dengan ciuman dan kutukan, menetes di tawa
gembira, bahagia, akan saya menghilang
keinginan dan napas terbuang
di bermimpi terdekat
begitu jauh
menghitung mundur
berdua-dua dan bertiga
dengan tidak pernah kata, suara keras
ini candi tersembunyi, loncatan
gembira, bahagia, selamanya
dengan ciuman dan kutukan, menetes di tawa
terburu-buru
memberikannya
di mana saya telah membuat tempat tidur
keinginan dan napas terbuang
di bermimpi terdekat
begitu jauh
seperti yang kita tumbuh
seperti yang kita pergi
ke sini dan setelah
Aku tidak pernah meninggalkan Anda
itu benar-benar sesuatu
sehingga terburu-buru untuk meletakkan saya turun
di mana saya telah membuat tempat tidur
cenderung pucat layu
muntah mengalahkan
menendang ke bawah
anak ini
di mana saya telah membuat tempat tidur
keinginan dan napas terbuang
di bermimpi terdekat
begitu jauh
seperti yang kita tumbuh
seperti yang kita pergi
ke sini dan setelah
Aku tidak pernah meninggalkan Anda
itu benar-benar sesuatu
sehingga terburu-buru untuk meletakkan saya turun
di mana saya telah membuat tempat tidur
cenderung pucat layu
muntah mengalahkan
menendang ke bawah
anak ini
Lirik
lagu tentu sesuatu yang puitis dan dapat dimaknai secara prismatik, sehingga
terjemahan bebas pun tidak membantu secara signifikan. Lirik tersebut menunjukkan
korelasi Fall Dance dengan Death can Dance sebelumnya. Tari atau gerak tubuh
juga merupakan sebuah memori yang dapat dipanggil (recall) dengan kosa gerak yang telah dialami atau pun dicari
sebelumnya. Sebuah resistensi dari tubuh
yang dikenai aturan kuat. Mematikan untuk berinovasi sehingga dapat terus
menari dalam jiwa yang ingin berekspresi sebebasnya. Pina tampak memberikan
tawaran pada sebuah pertunjukan antara lain pemanfaatan tempat yang
ditunjukkan, juga struktur pertunjukan yang sesungguhnya tidak terlalu linear
terlihat bagian awal, tengah, dan akhirnya, durasi yang singkat dengan gerak
yang berulang.
Simpulan
Simpulan
Konstelasi pertunjukan adalah sebuah
arena kontestasi bagi pembuat (creator),
pengamat, kritikus, maupun penonton. Teks-teks mendistribusikan tanda-tanda
yang terkadang dapat ditangkap baik tersurat maupun tersirat. Korelasi
antartanda menjadi hal penting untuk dilihat meskipun masing-masing pembaca
dapat memberikan interpretasinya masing-masing. Hal tersebut tetap bisa
diterima mengingat pengalaman estetis yang berbeda.
‘Pina’
adalah sebuah film yang dedikasikan untuk Pina Bausch oleh orang-orang yang
pernah berkarya bersamanya. Sebuah interaksi interdisipliner antara tari,
teater, dan film. Asa dekonstruksi Pina
hadir dalam karyanya, bagaimana apa yang disebut orang representatif dan ideal
oleh Pina tidak menjadi persoalan yang utama dan mendesak. ‘Pina’ pun
menghadirkan kembali Pina Bausch untuk dicerap asa dan idenya agar kita selalu
tertantang untuk mengembangkan kreativitas. Emansipasi bagi tubuh sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Eco,
Umberto. 1979. A Theory of Semiotics.
Bloomington: Indiana University Press.
Carter,
Alexandra (ed.). 1998. The Routledge
Dance Studies Reader. London and New York: Routledge.
Moran,
Joe. 2002. Interdisiplinarity. New
York : Routledge.
Sahid,
Nur. 2016. Semiotika untuk Teater, Tari,
Wayang Purwa, dan Film.Semarang : Gigih Pustaka Mandiri.
St.
Sunardi. 2002. Semiotika Negativa.
Yogyakarta: Kanal.
Sternberg,
Robert J. 1999. Handbook of Creativity.
New York: Cambridge University Press.
E-sources:
Coates,
Emily. BEYOND THE VISIBLE: The Legacies
of Merce Cunningham and Pina Bausch. PAJ: A Journal of Performance and Art,
Vol. 32, No. 2 (MAY 2010), pp. 1-7 Published by: The MIT Press on behalf of
Performing Arts Journal, Inc .Stable URL: http://www.jstor.org/stable/40856535.
13-03-2017 05:43 UTC
https://www.letssingit.com/jun-miyake-lyrics-the-here-and-after-gfzxrst#ixzz4bJ3meE7s diakses pada Jumat, 17 Maret 2017 pukul 19.05 WIB
MacNeill,
Kate. 2009. Pina Bausch, Creative
Industries and the Materiality of Artistic Labour, International Journal of
Cultural Policy, 15:3, 301-313, DOI: 10.1080/10286630902785623.
Ni, Shu-Lan Miranda. 2002. “The Development of a Genre: Pina Bausch and Late Twentieth-Century Dance Theater”. A Dissertation in Fine Arts Submitted to Graduate Faculty of Texas Tech University in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy.
Ni, Shu-Lan Miranda. 2002. “The Development of a Genre: Pina Bausch and Late Twentieth-Century Dance Theater”. A Dissertation in Fine Arts Submitted to Graduate Faculty of Texas Tech University in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy.
Roxborough,
Scott. Wim Wenders' New Dimension.
Hollywood Reporter (Magazine); Feb 9, 2011; 417. Research Library. pg. 74
* Ujian Tengah Semester Mata Kuliah
Semiotika Seni, Dosen Pengampu: Dr. Nur Sahid, M.Hum. Program Studi Pengkajian
Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada,
2017
[2] Sahid,Nur. 2016. Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang Purwa,
dan Film. Semarang: Gigih Pustaka Mandiri. p.4.
[3] Sahid. 2016. p.21.
[4] Ni, Shu-Lan Miranda., 2002, “The
Development of a Genre: Pina Bausch and Late Twentieth-Century Dance Theater”,
A Dissertation in Fine Arts Submitted to Graduate Faculty of Texas Tech
University in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Doctor
of Philosophy, p.180.
[5] Roxborough, 2011, Wim Wenders' New Dimension. Hollywood
Reporter, Research Library, p.74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar