FOTOGRAFI SINEMATIK KARYA SAM NUGROHO
DALAM KAJIAN SEMIOTIKA ROLAND BARTHES
Oleh:
BAB I
PENDAHULUAN
Pembahasan
dalam paper ini, berisi
latar belakang, tujuan, dan landasan teori sebagai pengantar analisis karya Sam
Nugroho yang berjudul “1939!”.
A. LatarBelakang
Sam Nugroho, seorang fashion
photographer kelahiran Indonesia
tahun 1967 yang besar di Los
Angeles dan menyelesaikan studi di Institut California Selatan, Fakultas Arsitektur, Jurusan Desain Arsitektural. Pada tahun 2009, Sam Nugroho melalui The Looop Indonesia
mengadakan sebuah pameran foto instalasi, dimana foto-foto tersebut mengungkapkan serangkaian cerita dengan latar belakang perjuangan bangsa Indonesia. Pameran dengan
tajuk A
Photographic Journey by The Looop
Indonesia, memamerkan lebih dari 20 karya fotografi karya Sam Nugroho yang melibatkan banyak pihak seperti
penata gaya, penata make-up, dan penata rambut. Sederet artis Indonesia ternama
juga turut berpartisipasi dalam karya fotografi Sam Nugroho.
Serangkaian
foto tersebut dikategorikan dalam fotografi sinematik,[1] yang memiliki alur cerita berurutan antara satu foto
dengan foto berikutnya. Rangkaian foto tersebut bukan dikategorikan sebagai
foto jurnalistik yang menangkap kejadian nyata, melainkan foto yang dibuat
untuk kepentingan artistik
menyampaikan sebuah cerita fiksi. Sama halnya dengan sebuah film, fotografi
sinematik juga didasari dengan adanya sinopsis yang melatari cerita tersebut. Berikut adalah sinopsis dari rangkaian foto Sam Nugroho
dengan judul “1939!” tersebut.
“Pada
tahun 1939, terjadi peristiwa
besar dimana seorang pejabat tinggi Belanda telah diracuni di rumahnya oleh
para pejuang kemerdekaan dalam misi mendapatkan sebuah buku penting berisi
catatan pergerakan bangsa Indonesia dalam upaya meraih kemerdekaan. Pejabat
tersebut meninggalkan istrinya yang muda dan cantik. Karena pembunuhan itu
melibatkan seorang pejabat tinggi Belanda, maka Hindia Belanda mengirim seorang
penyelidik yaitu seorang pemuda Belanda yang gigih. Pada kasus ini, dia
mencurigai istri muda sang pejabat tinggi Belanda, dengan latar belakangnya
yang menarik perhatian karena mempunyai hubungan dengan seorang pegawai
pemerintah Hindia Belanda yang berdarah lokal (pribumi). Sang istri tersebut
sebetulnya terperangkap dalam lingkaran yang penuh dengan intrik dan romantisme “[2]
Gambar 1 :
Poster
Pameran Sam Nugroho dengan Judul “1939!”
Berdasarkan
sinopsis tersebut serta poster pameran yang ada pada Gambar 1, Sam Nugroho
menampilkan sederet karya fotografi untuk dianalisis dengan teori semiotika,yang
mana setiap foto memuat tanda untuk
memperkuat dan mendukung potongan cerita yang ingin
disampaikan. Adapun dalam paper ini, hanya menganalisis 3 buah karya foto sebagai sampling dari total 21 foto yang merupakan rangkaian karya “1939!”.
Cara pengambilan sampel dilakukan secara acak namun dilandasi
pertimbangan bahwa foto yang dianalisis menunjukkan alur cerita untuk
memudahkan proses analisis.
B. Tujuan
Penulisan
paper
yang berisi pembahasan terhadap 3 dari 21 rangkaian foto “1939” karya Sam
Nugroho ini bertujuan sebagai pembelajaran penulis dalam mendeskripsi, menganalisis, dan menginterpretasikan karya sinematik fotografi
dengan kacamata teori semiotika Roland Barthes.
C. Landasan Teori
Teori semiotika Roland Barthes
digunakan untuk melihat
tanda-tanda apa saja yang ditunjukkan oleh masing-masing foto
dalam proses analisis. Barthes melihat signifikasi suatu
objek tidak hanya terbatas pada bahasa
tetapi merupakan sebuah proses total dengan adanya susunan yang
terstruktur.[3] Jika tidak hanya terbatas pada bahasa, maka objek berupa
karya fotografi juga dapat dianalisis semiotikanya sama seperti menganalisis sebuah bahasa.
Barthes, dalam bukunya yang berjudul Semantics of the Object, menyatakan bahwa tanda dapat
diformulasikan dalam tiga wajah, yaitu sign
(tanda itu sendiri), sign vehicle (kendaraan
penanda atau material yang digunakan untuk mengungkapkan tanda), dan yang
terakhir adalah meaning (makna yang
ditimbulkan dari tanda tersebut).[4] Adanya ketiga wajah tersebut membuat sebuah tanda
seakan-akan hidup dan bersifat lebih aktif. Konsep itu menjelaskan bahwa sebuah tanda tidak dapat timbul apabila salah satu unsurnya
dihilangkan. Analisis yang penting tidak akan terbentuk jika hanya sekedar menganalisis tandanya saja, atau hanya materialnya saja. Begitu pula
jika hanya disampaikan maknanya, bagaimana makna tersebut dapat terbentuk jika
tanda itu sendiri tidak ada.
Analisis fotografi sinematik, yang erat juga kaitannya dengan sinematografi atau perfilman,
menggunakan sistem tanda teater yang timbul dari sebuah foto sinematik. Adapun sistem tanda teater
menurut Tadeuz Kowzan terdiri dari tiga-belas sistem tanda, yaitu: kata, nada, mime, gesture,
gerak, make-up, hair style, kostum, properti, setting,
lighting, musik, dan sound effects.[5]
Namun, dikarenakan foto merupakan sesuatu yang diam, maka setiap foto yang ada dikupas
dengan melihat mime
dan gesture untuk melihat apa yang
dirasakan oleh tokoh; make-up, hair style, dan kostum untuk
menunjukkan kedudukan tokoh tersebut; properti dan setting untuk menunjukkan lokasi peristiwa tersebut terjadi;
kemudian lighting dan setting untuk menunjukkan waktu dan
suasana yang terbentuk dari peristiwa yang tengah terjadi.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada bagian ini
dibahas 3 buah karya sinematik fotografi “1939!” Sam Nugroho, yang ditelaah melalui tiga buah tahapan
yaitu deskripsi, analisis, dan interpretasi.[6]
Tahap deskripsi merupakan tahap awal yang penting
dan perlu dilakukan untuk membedah sebuah karya seni. Dalam kamus umum bahasa
Indonesia dijelaskan bahwa deskripsi adalah pemaparan sesuatu dengan kata-kata
secara jelas dan terperinci.[7] Artinya, tahap
mendeskripsikan merupakan proses pengumpulan data.[8] Deskripsi yang
telah dibuat mampu membawa pada proses analisis,
yang mana merupakan langkah untuk
mengungkap setiap komponen yang terbentuk dalam sebuah komposisi.[9]
Setelah pendeskripsian dan analisis, langkah selanjutnya ialah
menginterpretasikan sebagai upaya untuk membaca karya fotografi yang
diasosiasikan sebagai upaya untuk mengungkap makna yang terkandung didalam suatu teks secara lebih
mendalam, bukan hanya sekedar mengungkap keindahan yang terlihat oleh indera
saja.
A. Foto adegan 1 dari 1939! karya Sam Nugroho
Pada
pembahasan karya foto ini terdapat tiga orang pria; dua dalam keadaan duduk dan
seorang dalam posisi berdiri. Dalam foto ini juga terlihat dua buah kursi, dua
buah meja, dua buah cangkir. Kedua pria yang sedang duduk mengenakan setelan
jas hitam dengan kemeja putih seorang membawa buku ditangan kanan dan seorang
lagi membawa pipa rokok ditangan kiri yang terlihat sedang berbincang. Disamping
dua orang yang sedang duduk berbincang tersebut, sedang berdiri seseorang yang
menggunakan ikat kepala dan pinggang dengan kain bermotif batik terlihat
berdiri tenang dengan mata terpejam. Tiang penyangga didepan yang berdiri lurus
secara vertikal menyiratkan sifat kaku dan kokoh.
Adegan 1 “1939!” karya Sam Nugroho
Terlihat
dengan jelas disini beberapa komponen material yang digunakan sebagai kendaraan
untuk menyampaikan sebuah makna dalam
karya foto ini. Dua orang pria yang sedang duduk dengan dua buah cangkir diatas
meja dan diletakkan hadapannya, kursi yang diduduki dan kedua cangkir yang
disajikan menandakan status sosial yang lebih tinggi dengan pria yang hanya
berdiri. Dari pakaian antara jas dan unsur batik yang dikenakan menandakan
adanya perbedaan status sosial dan menunjukkan identitas daerah pada masa yang ingin disampaikan
(dalam hal ini Jawa dan Belanda). Properti yang digunakan seperti, pipa rokok
yang sedang dihisap oleh salah satu pria dalam foto ini juga menandakan status
sosial yang lebih tinggi dari kedua orang yang lain. Gesture tubuh dari pria
yang memegang pipa dengan dada sedikit membusung kedepan dan lebih condong ke
kiri untuk mendekatkan dirinya dengan pria yang duduk disebelah kirinya
menandakan adanya pembicaraan penting atau nada yang pelan dan dia mendengarkan
secara seksama. Gestur berbicara seperti itu juga mampu menampilkan adanya
pembicaraan yang rahasia antara keua pria yang sedang duduk. Kemudian disamping
pembicaraan rahasia tersebut terjadi, pria yang berdiri tampak memejamkan mata
seperti hendak mendengarkan apa yang sedang dibicarakan kedua pria yang duduk.
Selanjutnya
dari pencahayaan pada foto tersebut, menunjukkan adanya tokoh penting dalam adegan
ini, yaitu pria berwarganegara Belanda yang sedang memegang pipa rokok. Jika
dihubungkan dengan sinopsis yang ada, tokoh penting dengan pencahayaan lampu
sorot tersebut adalah seorang pejabat tinggi Belanda. Kewarganegaraan dapat
nampak dari pakaian yang dikenakannya. Seperti yang dapat kita lihat, pria yang
berdiri mengenakan pakaian dengan aksen batik menunjukkan bahwa ia berdarah
lokal, yaitu Indonesia, dikarenakan batik menjadi motif yang merupakan motif
asli Indonesia. Poin lain yang dapat ditemukan melalui foto ini jika didasarkan
pada sinopsisnya adalah, foto ini menunjukkan kejadian ketika buku penting
tersebut berpindah tangan pada pejabat tinggi Belanda. Selain itu, foto ini
menunjukkan kisah sebelum pejabat tinggi Belanda tersebut tewas diracun.
Disamping pemaknaan denotatif yang dapat diangkap pada
foto tersebut, tersirat juga makna lain yang menunjukkan bahwa di Indonesia
pada tahun 1939 saat itu telah terjadi penjajahan oleh Belanda, sehingga
masyarakat asli Indonesia justru merasakan ketidak-bebasan di negaranya
sendiri. Telah dijelaskan sebelumnya juga bahwa posisi duduk dan berdiri dalam
foto tersebut juga menunjukkan siapa yang paling berkuasa, dalam hal ini tampak
bahwa Belanda yang saat itu berkuasa dan bahkan “menindas” masyarakat Indonesia.
Kemudian, berbicara soal kedudukan, pejabat tinggi Belanda, pada saat itu
memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada pegawai pemerintah Hindia Belanda
yang diceritakan sebagai orang yang dicurigai menewaskan pejabat tinggi Belanda
tersebut. Kecurigaan tersebut mengarah pada pegawai pemerintah berdarah lokal
tersebut, dikarenakan pada saat kejadian penyerahan buku tersebut, ia berada
disana dan menyaksikan kejadian tersebut.
B. Foto adegan 2 dari “1939!” karya Sam
Nugroho
Gambar 3 :
Adegan 2 “1939!” karya Sam Nugroho
Dalam
melakukan pengamatan karya foto ini dikelompokkan menjadi tiga unsur elemen.
Elemen pertama (model), kedua (property dan lokasi), dan tiga (teknis foto)
yang ketiganya tersusun dan saling berhubungan sehingga membentuk sebuah
cerita. Elemen yang pertama: seorang laki-laki menggunakan baju putih yang
tergeletak diatas meja serta tiga orang perempuan yang secara komposisi berdiri
secara berurutan. Elemen kedua: sebuah meja kotak yang diatasnya terdapat empat
buku, satu dalam keadaan terbuka satu buku dalam keadaan tertutup yang keduanya
terletak tepat didepan pria yang tergeletak dan dua dalam keadaan ditumpuk
disisi sebelah kanan meja, seutas tali, kacamata, tiga lembar kertas, sebuah
cangkir, sebuah lampu meja berwarna hitam, dan disisi sebelah kiri meja
terdapat sebuah jam saku; meja bundar yang diatasnya terdapat dua buah buku
yang ditumpuk; kursi; bendera; jendela dan pintu.
Elemen
ketiga: pencahayaan dan komposisi. Elemen
pencahayaan yang terdapat dalam foto kedua ini terlihat adanya gradasi dalam
pencahayaan, seperti bagian sisi luar dari foto tersebut yang terlihat lebih
gelap dibandingkan dengan bagian tengah. Hal ini seperti ingin menampilkan
kesan yang mendramatisir dan yang menjadi pusat perhatian dalam karya foto
kedua ini terjlihat dibagian tengah yang terlihat lebih terang dibandingkan
sisi luar yang terlihat lebih gelap.
Konsep tata ruang yang terdapat dalam
karya foto ini menunjukkan gaya bangunan belanda yang digunakan oleh seorang
pejabat. Hal ini terlihat dari meja dan kursi yang terlihat mewah yang
menandakan si pemilik bukan merupakan
orang sembarangan. Kemudian daun jendela yang tinggi dan besar, bentuk pintu,
serta tiang penyangga kokoh yang terlihat di luar jendela menandakan bahwa bangunan ini milik orang belanda. Hal ini
tentunya mengacu pada synopsis yang ada di bagian sebelumnya.
Dilihat
dari foto ini ada dua perempuan yang terlihat terkejut dengan mulut terbuka
menunjukkan seperti orang berteriak dan terlihat seakan ingin menghampiri pria
yang tergeletak dimeja dengan mata melotot. Perempuan yang satu berdiri
dibelakang diam dengan menunjukkan ekspresi tangan kanan menyangga didagu
tangan kiri disela kedua kakinya dan pandanan mata melirik ke arah pria yang
tergeletak diatas meja. Elemen-elemen yang ada didalam foto ini tersusun
menjadi kesatuan dan memunculkan sebuah makna, seperti meja dan kursi yang
terlihat mewah serta bendera belanda yang ada di belakangnya serta interior
ruangan yang nampak megah menunjukkan gambaran dari seorang yang dalam foto ini
memiliki pengaruh atau kekuasaan. Selanjutnya adanya beberapa buku dan kacamata
yang ada dalam foto tersebut menunjukkan bahwa orang tersebut senang membaca,
kemudian dari tokoh pria yang tergeletak dengan posisi mata yang terbuka dengan
gelas cangkir yang tumpah didepannya menujukkan bahwa telah sesuatu yang tidak
wajar yang telah menimpa dirinya. Dalam karya foto ini juga terlihat waktu
kejadian, hal ini tampak jelas dari latar belakang luar jendela yang terlihat
gelap menunjukkan waktu kejadian adalah malam hari. Ekspresi dari ketiga
perempuan yang ada dalam foto ini juga mampu memunculkan makna tersendiri, hal yang terlihat dari kedua perempuan yang tampak
terkejut dan tidak menduga telah terjadi hal
mengerikan yang menimpa suaminya. Dimana suaminya tersebut merupakan seorang
pejabat tinggi belanda yang seharusnya mendapatkan pengawalan dan perlindungan
ekstra, tetapi pelaku pembunuhan tersebut dapat memanfaatkan celah yang ada
sehingga mampu mencelakai sang pejabat tinggi. Dari ekspresi kedua perempuan
itu menujukkan adanya kedekatan emosi dengan pria yang
tergeletak diatas meja, berbeda dengan ekspresi perempuan yang berdiri
dibelakang menunjukkan sikap sedang berpikir mengenai hal yang sedang terjadi.
C. Foto 3 dari “1939!” karya Sam Nugroho
Foto dalam adegan ketiga ini menggambarkan sebelas orang
yang sedang berkumpul, sepuluh diantaranya berjajar dengan menggunakan baju
dominasi warna hitam. Mereka berdiri berjajar dengan jarak berdekatan,
sementara dipojok paling kanan dengan posisi yang lebih ke depan, seorang pria
berbaju putih dengan mengalungkan sarung bermotif kotak-kotak, duduk pada
sebuah batu berundak dibawah tiang yang besar. Pria berbaju putih tersebut
menumpu tanggannya pada sebuah cangkul. Kemudian sejajar dengan pria berbaju
putih tersebut, terdapat sebuah patung batu berbentuk manusia.
Gambar 4 :
Adegan 3 “1939!” karya Sam Nugroho
Foto
dalam adegan ketiga ini menggambarkan sebelas orang yang sedang berkumpul,
sepuluh diantaranya berjajar dengan menggunakan baju dominasi warna hitam.
Mereka berdiri berjajar dengan jarak berdekatan, sementara dipojok paling kanan
dengan posisi yang lebih ke depan, seorang pria berbaju putih dengan
mengalungkan sarung bermotif kotak-kotak, duduk pada sebuah batu berundak
dibawah tiang yang besar. Pria berbaju putih tersebut menumpu tanggannya pada
sebuah cangkul. Kemudian sejajar dengan pria berbaju putih tersebut, terdapat
sebuah patung batu berbentuk manusia.
Berlatar
pepohonan yang besar serta rindang, langit pada saat itu gelap serta berkabut (background). Didepan sepuluh orang
berbaju dominasi hitam tersebut, terdapat segundukan tanah dengan tepi semen,
dimana diatas gundukan tanah tersebut terdapat bunga berwarna merah.Garis
horizon yang ada dalam foto ini menunjukkan bahwa peristiwa ini disaksikan oleh
mata manusia, dimana pohon tampak tinggi menjulang dan fokus ada pada sepuluh
orang yang berderet menggunakan baju dominasi berwarna hitam (object). Sementara, jarak yang terbentuk
antara sederet orang berbaju hitam serta pria dengan posisi terdepan dari foto,
menunjukkan adanya pembeda diantara mereka (foreground).
Sekalipun pria berbaju putih berada di posisi depan, fokus foto tersebut tetap
pada sederet orang berbaju hitam. Kemudian bila disorot dari pencahayaan pada
foto tersebut, nampak bahwa pencahayaan utama berasal dari sebelah kiri atas,
sisanya adalah pencahayaan tambahan supaya foto tidak nampak terang hanya di
satu bagian ataupun flat.
Tanda
fisik foto yang kita dapatkan melalui deskripsi dan analisis di atas, membawa
kita pada sebuah interpretasi bahwa foto tersebut menggambarkan suasana pemakaman.
Aura gelap dan suram yang meliputi foto tersebut memberikan gambaran adanya
kesedihan yang mendalam. Setiap tokoh yang ada di dalamnya sama sekali tidak
menunjukkan adanya kebahagiaan. Jika penulis mengurutkan dari sederet tokoh
berbaju hitam, pada posisi paling kiri, topi putihnya mengingatkan pada seorang
detektif, gestur tubuhnya juga menunjukkan bahwa ia tengah serius memikirkan
sesuatu. Kemudian penulis melihat lima orang yang berada di sebelah kanan
(sudut pandang penonton) dari pria bertopi putih, mereka dapat saja kerabat
dari orang yang dimakamkan. Dua diantara kelima orang tersebut tengah
bergandengan, yang tentu saja menunjukkan bahwa mereka memiliki kedekatan dalam
relasi seperti pasangan suami istri. Sementara empat orang paling kanan dari
sederet orang berbaju hitam, penulis mendapatkan tanda khusus bahwa mereka
adalah orang-orang yang merasakan kesedihan paling mendalam dengan kepergian
orang yang dimakamkan, terutama wanita berbaju hitam dengan hiasan kepala warna
cerah yang bahkan ditopang oleh wanita berbaju hitam lainnya.
Terlepas
dari sekumpulan orang yang sedang berduka, tampak pria berbaju putih dengan
posisi berbeda dengan sederet orang berbaju hitam tersebut yang juga memberi
tanda tentang adanya perbedaan status. Pakaian dan juga cangkul yang dibawanya,
menunjukkan bahwa ia adalah seorang penggali kubur, sementara yang lainnya
adalah bangsawan, atau jika dihubungkan dengan sinopsis, mereka adalah
sekumpulan orang Belanda yang sedang berduka. Namun jika dihubungkan dengan
foto yang telah dibahas sebelumnya, orang yang dimakamkan adalah bangsawan yang
tewas karena diracun tersebut.
Menilik
pula dari lokasi pemotretan tersebut, penulis dapat menemukan bahwa pemakaman
tersebut dilakukan di pemakaman Belanda yang kental dengan keagamaan Katolik.
Hal tersebut ditandai dengan adanya patung bertubuh manusia yang sesungguhnya
menunjukkan sosok malaikat. Mengingat pula bahwa pada saat tahun 1939 tersebut,
agama Katolik telah masuk ke Batavia sejak tahun 1807 melalui era Hindia
Belanda[10].
Pemakaman tersebut juga berada di Indonesia, yang ditandai dengan gaya
berpakaian sang penggali kubur. Lalu berbicara soal waktu, jika dihubungkan
dengan adegan sebelumnya yang terjadi pada malam hari, pemakaman tersebut
terjadi pada pagi hari saat matahari akan terbit yang ditandai dengan
pencahayaan yang kuat dari salah satu sisi saja.
Makna
lain yang didapat dari adegan tersebut, bahwa dalam kondisi berduka, orang
cenderung menunjukkan ekspresi kesedihan, atau paling tidak tertegun karena
merasa kehilangan. Sekalipun bukan orang terdekat, atau tidak memiliki hubungan
emosional, orang yang berada di sekitar pemakaman akan terbawa emosinya pada
aura kesedihan. Sebagai contoh, pria penggali kubur tersebut. Bila kita
berbicara logika, seharusnya pria tersebut bahagia karena ada kemungkinan ia
akan mendapatkan uang karena telah bekerja untuk menggali kubur, namun tidak
sedikitpun ia menunjukkan ekspresi bahagia. Kemudian, ia adalah warga lokal
Indonesia, seharusnya dia merasa bahagia karena yang dimakamkan adalah pejabat
tinggi Belanda yang tentu saja selama ini menindas kaum mereka. Tetapi yang
ditunjukkan pria penggali kubur itu juga ekspresi tertegun, karena bila melihat
dari sisi kemanusiaan, sesama manusia wajib menghargai perasaan satu sama lain
sekalipun ada perbedaan kewarganegaraan, kelas sosial, dan lain sebagainya.
Selain untuk menghargai, dapat juga pihak luar yang tidak memiliki hubungan
emosional, akan ikut merasa sedih karena membayangkan bagaimana jika orang yang
dicintainya meninggal dunia.
BAB III
KESIMPULAN
Pembahasan
dalam bab ini, penulis memberikan kesimpulan yang berkaitan dengan analisis
yang telah dilakukan terhadap tiga buah foto dari
serangkaian karya foto yang dihasilkan Sam Nugroho dalam “1939!”. Kesimpulan
tersebut ditarik berdasarkan tanda yang didapat dari setiap foto, kemudian dihubungkan dengan sinopsis yang telah ada.
Berdasarkan
sinopsis yang ada sebelumnya, diangkat tiga buah foto pertama dari serangkaian adegan
kisah “1939!”,diawali
dari berpindah tangannya sebuah buku pada seorang pejabat tinggi Belanda.
Seperti yang telah diinterpretasikan sebelumnya, foto pada adegan pertama
menunjukkan bahwa perpindahan tangan buku tersebut terjadi secara rahasia, sehingga kedua tokoh Belanda yang ada pada foto tersebut
perlu berbincang dengan jarak yang dekat. Beralih ke foto berikutnya,
ditampilkan pejabat Belanda yang telah tergeletak diatas meja kerjanya dengan dua wanita
Belanda yang shock melihat kejadian
tersebut.Sementara
itu, satu
wanita yang berdiri terpaku dibelakang dua wanita Belanda tersebut menunjukkan
adanya perbedaan kedudukan yang diperlihatkan dengan adanya sikap menjaga jarak terhadap kumpulan orang Belanda. “Penemuan” meninggalnya pejabat
tinggi Belanda oleh istrinya sendiri itu tentu memiliki perbedaan waktu yang tidak begitu jauh
dibanding dengan saat meninggalnya pejabat tinggi tersebut. Kemudian, foto terakhir yang dibahas dalam paper ini adalah mengenai tanda-tanda yang didapat dari
peristiwa pemakaman pejabat tinggi Belanda.
Ketiga
foto yang dikupas dihubungkan dengan teori Barthes mengenai tiga wajah tanda yang menunjukkan bahwa setiap foto mampu menampilkan tanda
melalui foto itu sendiri (sign),
kemudian apa yang ditampilkan foto tersebut seperti contohnya warna pakaian
yang dikenakan tokoh sebagai sign
vehicle, dan makna berkabung yang ditunjukkan lewat pakaian hitam yang
dikenakan, berfungsi sebagai meaning. Bila
dikaitkan antara ketiga foto tersebut, secara singkat dapat kita temukan bahwa sebuah
foto dapat memiliki makna yang mendalam. Pemaknaan tersebut dapat dipengaruhi
oleh segala komponen yang ada dalam foto tersebut. Semakin komplek komponen
yang ada di dalamnya, maka foto tersebut akan memiliki makna yang semakin
mendalam dan tampak merupakan kejadian nyata, sekalipun semua komponen di
dalamnya merupakan setting yang tidak
riil.
DAFTAR PUSTAKA
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang :
Indonesiatera.
Marianto, M Dwi.2011. Menempa
Quanta Mengurai Seni. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta.
Marianto, M Dwi. 2017. Art & Life Force in a Quantum
Perspective. Yogyakarta : Scritto Books Publisher.
Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2007.
Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Sahid, Nur. 2016. Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang
Purwa dan Film. Semarang : Gigih Pustaka Mandiri.
Sunardi, St. 2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta :
Penerbit Buku Baik.
Online resource :
Cinematic Photography, http://www.flickr.com/groups/cinematicinfluences/ , diakses pada tanggal 14 Maret 2017.
Mazda gelar 1939! A Photographic Journey. 2009. http://m.inilah.com/news/detail/90601/mazda-gelar-1939-a-phographic-journey, diakses pada tanggal 14 Maret 2017
Sejarah Gereja Katolik di Indonesia, https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Gereja_Katolik_di_Indonesia , diakses pada tanggal 15 Maret 2017
* Ujian Tengah Semester Mata
Kuliah Semiotika Seni, Dosen Pengampu: Dr. Nur Sahid, M.Hum. Program Studi
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas
Gadjah Mada, 2017.
[1]“A cinematic
shot is basically one that you think looks as a frame that could be taken from
a movie, a shot that seems to stimulate a feeling of a bigger story behind it”
: Sebuah foto dengan nuansa sinematik pada dasarnya adalah salah satu dapat
terlihat sebagai gambar yang bisa diambil dari film, foto yang tampaknya untuk
merangsang perasaan cerita yang lebih besar di balik foto tersebut. Cinematic Photography, http://www.flickr.com/groups/cinematicinfluences/ , diakses
pada tanggal 14 Maret 2017.
[2]Dikutip dari
artikel “Mazda gelar 1939! A Photographic Journey”. 2009. http://m.inilah.com/news/detail/90601/mazda-gelar-1939-a-phographic-journey, diakses
pada tanggal 14 Maret 2017
[4]Sunardi, St.
Semiotika Negativa. Hal 41. 2004.
Penerbit Buku Baik, Yogyakarta.
[5]Sahid, Nur.
2016. Semiotika untuk Teater, Tari,
Wayang Purwa dan Film. Semarang : Gigih Pustaka Mandiri, 69.
[6]“..kritikus
melakukan satu atau lebih dri lima aktivitas sentral berikut ini, yaitu :
mendeskripsi, menganalisis, menginterpretasi, menilai dan meneorikan” ,
Marianto, M Dwi. 2017. Art & Life
Force in a Quantum Perspective. Yogyakarta : Scritto Books Publisher, 54.
[7] Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
[8]Marianto, M
Dwi. 2011. Menempa Quanta Mengurai
Seni, Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta, 24.
[9]Marianto, M
Dwi. 2017, 167.
[10]Sejarah
Gereja Katolik di Indonesia, https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Gereja_Katolik_di_Indonesia ,diakses
pada tanggal 15 Maret 2017, 16.27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar