MELIHAT EFEK SIMBOLIK MUSIKAL MELALUI BENTUK TIRUAN
ALAT MUSIK PADA FESTIVAL PASAR KERONCONG KOTAGEDE TAHUN 2016
Oleh
Dedi Novaldi*
BAB I
Dedi Novaldi*
BAB I
PENGANTAR
A.
Latar
Belakang
Perkembangan seni pertunjukan di Indonesia saat ini begitu pesat dan
cukup signifikan kehadirannya sehingga dibanyak kota muncul beragam kelompok
seni dengan pelbagai macam jenis kesenian yang diusungnya. Hal ini bisa dilihat
dari banyaknya agenda pertunjukan seni yang diselenggarakan diberbagai tempat.
Dengan banyaknya agenda pertunjukan yang diselenggarakan dipelbagai kota dan
daerah, festival seni pertunjukan merupakan salah satu bentuk agenda yang kerap
menjadi pilihan bagi kelompok-kelompok kesenian untuk bisa menampilkan karya
seninya kepada masyarakat luas, dalam hal ini adalah penonton.
Festival-festival di Indonesia pun saat ini semakin bervariasi, baik
dilihat dari aspek penyelenggaraannya hingga kualitas para penampil yang
dihadirkan, bahkan tidak sedikit dari festival yang ada di Indonesia sudah
sangat terkenal di dunia internasional sehingga banyak dari seniman atau
kelompok kesenian dari banyak negara ingin tampil di festival yang ada di
Indonesia. Sebut saja diantaranya seperti Indonesia
Dance Festival, Java Jazz Festival,
International Biennale Puppet Festival,
Ubud Writers & Readers Festival dan masih banyak lagi yang lainnya.
Setiap festival yang diselenggarakan tentunya memiliki keunikan yang
berbeda satu sama lain, hal ini tergantung dari konsep event, tema yang diusung, hingga konsep artistik yang digunakan. Tulisan ini akan mencoba menganalisa
konsep artistik sebuah festival dan kaitannya dengan jenis musik keroncong yang
dilihat dari sudut pandang semiotika pada salah satu festival musik keroncong
yang diadakan di kota Yogyakarta pada akhir tahun 2016 lalu.
Sebuah peristiwa untuk para seniman, penikmat dan pemerhati musik
keroncong dihelat pada Desember 2016, peristiwa ini diwujudkan dalam sebuah
festival yang diberi nama Pasar Keroncong Kotagede. Festival Pasar Keroncong
Kotagede ini merupakan pelaksanaa yang kali kedua diselenggarakan di Kotagede
Yogyakarta. Ada konsep event yang
menarik dan berbeda dari pelaksanaan kali kedua ini dari tahun sebelumnnya. Penyelnggaraan
kali kedua ini menggunakan tiga panggung utama yang diposisikan di tiga tempat
yang berbeda. Penempatan tiga panggung tersebut seperti sengaja dibuat dan
diletakan di tiga tempat yang berbeda di sekitar Kotagede, sehingga selain bisa
memilih pelbagai pertunjukan musik dari grup yang berbeda-beda, tapi pengunjung
juga bisa menikmati suasana yang ada disekitar area festival di Kotagede
tersebut.
Hampir setiap sudut di Kotagede penyelenggara festival membuat pelbagai
macam bentuk properti artistik yang erat kaitannya dengan musik keroncong.
Penempatan properti artistik tersebut dipasang secara tidak beraturan dengan
bentuk yang berbeda-beda pula, salah satunya bentuk alat musik cuk. Cak
merupakan alat musik yang berbentuk gitar hampir seperti alat music gitar
dengan perbedaannya terletak pada ukurannya yang kecil, jenis dawai yang
digunakan berbeda dan berjumlah lebih sedikit dibadingkan alat musi gitar. Alat
musik Cak juga menjadi salah satu alat musik yang penting dari jenis musik
keroncong sehingga kehadirannya menjadi sangat penting dalam sebuah grup musik
keroncong. Pada festival Pasar Keroncong Kotagede replika atau tiruan alat
musik cuk inin dihadirkan diberbagai sudut area festival.
B.
Tujuan
Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk melihat hubungan antara musik keroncong
melalui tanda yang dihadirkan pada festival Pasar Keroncong Kotagede dilihat
dari sudut pandang ilmu semiotika.
C.
Pendekatan
Teori
Tulisan ini menggunakan pendekatan teori semiotika dari Charles Sanders
Peirce agar dapat membantu pembaca melihat dan memahami tanda yang dihadirkan
dalam penyelanggaraan festival Pasar Keroncong Kotagede tahun 2016.
Peirce merupakan salah satu tokoh dalam bidang ilmu semiotika. Menurut
Peirce tanda mengacu kepada sesuatu yang disebut objek, yang disebut mengacu
adalah ‘mewakili’ atau ‘menggantikan’ dan bukan berarti ‘mengingatkan’ (kata
“meja” mewakili objek meja). Tanda harus dapat ditangkap agar dapat berfungsi.
Tanda hanya dapat berfungsi apabila ada yang menjadi dasarnya (ground).[1]
Lebih jauh tentang prinsip dari pemikiran Peirce adalah tentang relasi.
Melalui Aart Van Zoest dalam bukunya menuliskan bahwa Peirce melihat fungsi
esensial sebuah tanda adalah menjadikan relasi yang tidak efisien menjadi
efisien, tidak dengan maksud mengaktifkan mereka, tetapi untuk membiasakan diri
menyusun peraturan ataupun sistem yang dapat menjadikan relasi-relasi itu berfungsi
pada saat diperlukan.[2]
Berdasarkan dari pemikiran Peirce
tentang relasi dan konsep ground nya
inilah konsep musikal yang dihadirkan dalam bentuk sebuah tanda dan kaitannya
dengan festival Pasar Keroncong Kotagede dianalisa.
BAB II
PEMBAHASAN
Pasar Keroncong Kotagede adalah sebuah festival musik keroncong
diselenggarakan setiap tahunnya di Kotagede Yogyakarta. Selain menghadirkan
pelbagai musisi keroncong ternama bahkan musisi lintas genre, festival ini juga menyuguhkan pelbagai macam bentuk artisik yang
menarik, sehingga tidak hanya mampu mendatangkan banyak pengunjung tapi juga
pengunjung rela menghabiskan waktu berlama-lama disekitar area festival.
Bentuk tiruan alat musik keroncong yang disebut cuk ditampilkan diruang
publik dan bisa dilihat oleh pengunjung festival. Memang dalam sebuah grup
musik keroncong kehadiran alat musik cuk memiliki peranan sangat penting.
Kehadiran alat musik cuk menjadi penting karena dengan alat ini gaya dari musik
keroncong bisa dibedakan dengan jenis musik yang lainnya. Tanpa adanya alat
musik cuk sebuah kelompok musik keroncong belum tentu bisa memainkan gaya musik
yang dinamakan dengan keroncong. Hal ini yang menjadikan alat musik tersebut
memiliki peranan penting.
Namun kemudian, apakah bentuk tiruan dari alat musik cuk tersebut
memberikan makna tersendiri atau bahkan menyampaikan pesan tertentu yang
berkaitan dengan festival yang diselenggarakan. Jawabannya bisa jadi iya,
karena bentuk tiruan alat musik itu bisa merupakan sebuah ikon yang menjadi
tanda bahwa di area lokasi Kotagede sedang berlangsung festival musik
keroncong. Pemilihan alat musik cuk juga bisa sebagai penyampai pesan kepada
khalayak banyak bahwa musik keroncong sangat indentik dengan alat musik cuk.
Tetapi perlu diamati atas apa yang dikatakan oleh Peirce melalui bukunya Zoest
bahwa pertama-tama, tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai
tanda. Sifat ‘dapat diamati’ ini memang ada batasnya, tetapi batas ini tidak
dapat dirumuskan dengan tepat.[3]
Jika ditinjau lebih jauh berdasarkan konsep hubungan triadik dari
Peirce, dalah hal ini alat musik cuk yang dimainkan oleh grup musik keroncong
pada festival Pasar Keroncong Kotagede tersebut sabegai objek, kemudian tiruan alat
musik cuk tersebut bisa dikatakan sebagai ground
nya, lalu jenis musik keroncong
sebagai interpretan nya. Dijelaskan
oleh Nur Sahid dalam bukunya bahwa yang disebut interpretan bukanlah orang yang memberikan interpretasi, melainkan
pemahaman makna yang timbul dalam diri si penerima tanda.[4]
Jadi tiruan alat musik cuk yang dihadirkan tersebut memberikan makna
tentang sedang ada peristiwa yang berhubungan dengan musik keroncong di tempat
tersebut. Seperti yang dikatakan Peirce diatas bahwa sifat dapat diamati’ ini
memang ada batasnya, tetapi batas ini tidak dapat dirumuskan dengan tepat,
maksudnya dalam hal ini kehadiran tiruan alat musik cuk tersebut selain
memberikan banyak rumusan yang diinterpretasi oleh banyak orang tapi kemudian
juga bisa memberikan efek yang berbagai macam terhadap orang yang melihatnya,
khususnya pada pengunjung festival.
Tanda yang dihadirkan dalam bentuk tiruan alat musik tersebut, memang
tidak memberikan efek musik musikal kepada seluruh orang yang melihatnya. Winfried
Noth melalui Sahid menjelaskan bahwa umumnya tanda bersifat transindividual
sehingga dapat dipahami oleh banyak orang. Namun demikian ada juga tanda yang
bersifat individual, sehingga tanda baru berfungsi apabila telah diinterpretasi. [5] Lalu kembali dilihat dalam
konteks pemikiran Peirce, artinya tiruan alat musik keroncong tersebut menjadi
sebuah ikon, dalam konteks ini hubungannya tentu dengan musik keroncong. Tentu
saja tiruan alat musik music tersebut tidak memberikan efek musikal, namun
kehadirannya memberikan efek simbolik dalam konteks festival musik keroncong
yang diselenggarakan.
Zoest mengatakan ada tiga unsur yang menentukan tanda: tanda yang dapat
ditangkap itu sendiri, yang ditunjuknya, dan tanda baru dalam benak si penerima
tanda. Antara tanda dan yang ditunjuknya terdapat relasi: tanda mempunyai sifat
representatif. Tanda dan representatif mengarahkan pada interpretasi, tanda
mempunyai sifat interpretatif. Dengan perkataan lain, representatif dan interpretatif
merupakan ciri khas tanda.[6]
BAB III
KESIMPULAN
Uraian
dari Zoest ini cukup menjelaskan bahwa tiruan alat musik cuk yang dihadirkan
diruang terbuka pada festival Pasar Keroncong Kotagede merupakan representatif
dari festival musik keroncong. Tiruan alat musik itu menjadi ikon bagi festival
tersebut, tiruan alat musik itu memberikan efek simbolik musikal pada siapa
saja yang melihatnya bahwa di alat musik cuk adalah alat musik yang digunakan
dalam kelompok musik keroncong, yang kehadirannya menjadi sangat penting
sebagai penentu identitas atas jenis musik keroncong.
* Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Semiotika Seni, Dosen Pengampu: Dr. Nur Sahid, M.Hum. Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 2017.
[1] Sahid, Nur. Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang Purwa, dan Film. Gigih Pustaka Mandiri. Semarang. 2016. P.5.
[1] Sahid, Nur. Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang Purwa, dan Film. Gigih Pustaka Mandiri. Semarang. 2016. P.5.
[2] Zoest, Aart Van. Semiotika: Tentang
Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa Yang Kita Lakukan Dengannya. Yayasan Sumber
Agung. 1993. P. 10-11.
[3] Aart Van Zoest..., 1993. P. 11.
[4] Sahid, Nur. Semiotika untuk Teater,
Tari, Wayang Purwa, dan Film. Gigih Pustaka Mandiri. Semarang. 2016. P.6.
[5] Ibid. P. 6
[6] Aart Van Zoest..., 1993. P. 15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar