Tari Remo Munali Fatah dalam Perspektif Semiotika

Tari Remo Munali Fatah
(dalam Perspektif Semiotika)
Oleh
Anindita Firsty Rahayu dan Indah Cahyasari*


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
 Dewasa ini sekitar tahun 1960an seni tari di Jawa Timur mengalami perkembangan cukup pesat yang didasari oleh perubahan kebutuhan masyarakat. Perkembangan tersebut salah satunya terdapat pada Tari Remo. Tari Remo adalah sebuah pertunjukan gerak anggota tubuh dalam bentuk sekaran (kembangan) yang dibentuk oleh badan, tangan, kaki dan kepala bersama irama musik sesuai dengan obahing rasa (getaran jiwa) pengreman (penari Remo)[1]. Kemuculan Tari ini digunakan sebagai awalan kesenian Tayub, Topeng dan drama Ludruk[2], penari Remo dijuluki sebagai Teledhek atau Ledhek untuk menampilkan sajian pembuka.
Tari Remo bagi masyarakat Jawa Timur merupakan sebuah kesenian tradisional yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Transmisi ini didasari oleh karena ide penciptaan Tari Remo  bersumber pada identitas lokal masyarakat Jawa Timur. Melalui perspektif sejarah dapat diketahui bahwa cerita Tari Remo merupakan penggambaran seorang Ksatria yang sedang berjuang melawan penjajah Belanda. Penggambaran dan ciri khas tari tersebut membuat Tari Remo menjadi populer dan terkenal di Jawa Timur. Kepopuleran Tari Remo pada akhirnya memicu perkembangan struktur bentuk Tari Remo baru. Tahun 1975 muncul beragam gaya penampilan Tari Remo yang lebih sederhana dan bervariasi. Adapun macam gaya tarinya dibagi menjadi empat, antara lain: gaya Surabaya, Jombang, Malang dan Madura.
Beberapa seniman Tari Remo mempunyai kekuatan individu sebagai sebuah gaya pribadi dalam mengemukakan gagasan, pendapat atau pemikirannya terkait dengan titik tolak asal-usul dan perkembangan Tari Remo. Semua hal tersebut terlahir dan terbangun berdasarkan pengalaman dalam menggeluti pertunjukan Tayub dan Ludruk. Salah satu seniman Tari Remo yang mengembakan Tari Remo berdasarkan gaya dan gagasan pribadinya adalah Cak Munali Fatah. Kepenarian gaya Tari Remo Munali Fatah memiliki ciri khas pada pola gerak yang lebih sederhana dan rapi, mudah diikuti dan dipelajari. Gaya Tari Remo Munali Fatah lebih menekankan pada penampilan yang anteng, gagah (pidhegsa), patah-patah, manteping rasa (kemantapan rasa tari), tidak ngoyo (tidak ngotot), tegas dan tajam[3].
Ketajaman pola gerak gaya Munali Fatah menjadikan Tari Remonya bebeda dari Tari Gaya lainnya. Ia mencoba mengeksplorasi sikap tari yang lebih tegap dan menengadah, hal ini ditujukan untuk menggambarkan  sosok Ksatria yang kuat. Terfokus pada aspek fisik (elemen koreografi), penyajian Tari Remo Munali Fatah beserta alur ceritanya memiliki ungkapan makna yang digunakan sebagai nilai simbolik. Dimana ungkapan ekspresi tersebut berisi tentang gagasan yang sarat akan simbolisasi keprajuritan dan sifat kemanusiaan.
Dalam perspektif semiotika Tari Remo gaya Munali Fatah pada setiap unit elemen pertunjukan berisi tanda-tanda. Salah satu penari Remo Munali Fatah  bernama  K.D Sundari menjadi pembahasan lebih lanjut.  Penampilan Sundari saat pentas memiliki kandungan makna yang lebih dominan. Sundari bergerak untuk menyajikan representasi yang divisualkan melalui wujud gerak, busana, make-up dan teknik tari. hal tersebut dibawakan Sundari secara menyeluruh dari awal pementasan hingga akhir, dengan demikian penulis dapat memiliki interperetasi pada setiap tanda yang disajikan.

B.     Tujuan Penulisan
     Pembahasan Tari Remo Munali Fatah dalam Perspektif Semiotika memiliki daya Tarik tersendiri bagi penulis untuk menganalisis dan mendeskripsikan bagaimana sudut pandang semiotika dapat diaplikasikan pada Tari Remo. Kajian ini dapat dilakukan untuk memperdalam pemahaman tentang elemen-elemen tanda  serta mengetahui makna denotasi dan konotasi pada Tari Remo gaya Munali Fatah.

C.    Pendekatan Teori
     Sebagai pendekatan pisau bedah dalam menelaah Tari Remo Gaya Munali Fatah dalam Perspektif Semiotika  penulis mengunakan pendekatan semiotika tanda teater milik Tadeusz Kowzan. Sistem tanda teater Kowzan menawarkan tiga belas aspek penting diantaranya: 1) kata; 2) nada; 3) mime; 4). gesture; 5) gerak; 6)make-up; 7) hair style; 8) kostum; 9) properti; 10) setting; 11) lighting; 12) musik; dan 13) sound effects. Bagi Kowzan segmentasi 1-8 di atas berhubungan langsung dengan aktor, sedangkan 9-13 berada di luar aktor[4]. Artinya simbol kata, nada, mime, gesture, gerak, make-up, tata rias dan busana dapat dianalisis melalui  penari  Remo, sedangkan properti, setting, lighting, musik dan sound effect dapat diamati melalui pementasan Tari Remo saat dipertunjukan. Teori semiotika teater Kowzan digunakan untuk melihat sistem simbol pada elemen koreografi Tari Remo gaya Munali Fatah. Pemilihan teori ini ditunjukan dengan alasan bahwa sistem tanda milik Kowzan dapat mewakili elemen koreografi pada pertunjukan Tari Remo. Oleh sebab itu pemaknaan objek oleh penulis dirasa dapat memberikan interpretasi secara mendalam. Segala sesuatu ditampilkan penari sebagai hasil presentasi terhadap komponen-komponen struktur tertentu yang kaya akan makna.
Pertunjukan seni Tari dengan pementasan teater memiliki perbedaan mendasar pada sisitem tanda kata. Tanda kata didefinisikan sebagai sistem tanda bahasa, yakni tuturan kata-kata para pemain/ aktor (Said: 81). Sistem tanda kata dalam realitas pertunjukan lainnya seperti tari dan pedalangan tidak diartikan sama, Said menegaskan dalam bukunya Semiotika Untuk Teater, Tari, Wayang Purwa dan Film bahwa tanda kata dapat berupa gerak, grafis dan lain-lain (81).  Dengan demikian sistem tanda kata tersebut digunakan penulis untuk melihat wujud gerak penari berserta perpindahannya.
Analisis Tari Remo pada pembahasan selanjutnya tidak  mendeskripsi sistem tanda kata pada cakepan oleh penari maupun pesinden, dikarenakan Tari Remo ini tidak menyajikan syair pada saat pentas. Selain itu, Tari Remo Munali Fatah dalam pementasannya juga tidak menyajikan properti, sound effects dan syair. Sehingga analisis penulis akan lebih terfokus dalam mengamati sistem simbol pada gerak, kata, mime, pola lantai, make-up, tata rias, busana, panggung dan musik tari.


PEMBAHASAN
   Istilah Remo berasal dari kata remong yang berarti sampur, jadi Tari Remo adalah tari menggunakan sampur. Pendapat lain menyebutkan bahwa arti kata Remo ialah ngremongerem barang lima”. Barang lima adalah nilai budaya jawa yang umumnya disebut dalam malima yang berakronim, maling, main, mabuk, madon dan mamad[5]. Berdasar pada istilah makna nama tarinya, maka Tari Remo lebih banyak mengungkapkan simbol-simbol tentang eksistensi manusia dan pesan moral yang ditujukan sebagai falsafah hidup
Simbol Tari Remo gaya Munali Fatah muncul dengan dua wujud bentuk baik tersirat maupun tersurat yang menghasilkan makna denotasi (primer) dan makna konotasi (skunder). Menurut Art Van Zoest (1978), makna denotasi dalam dunia semiotika didefinisikan sebagai arti/makna langsung dari suatu tanda, yang telah disepakati bersama atau sudah menjadi pengertian yang sama.[6] Sedangkan makna konotasi adalah makna yang dihubungkan ke nilai-nilai sosial, moral, ideologis dalam suatu komunitas atau penonton.[7]
Segala sistem tanda saat pementasan berlangsung dimaknai penulis sebagai sarana komunikasi mengungkapkan maksud atau pesan. Dengan menganut teori sistem tanda milik Kowzan, komponen pementasan tersebut dibagi menjadi dua bagian, yakni, pertama berkaitan langsung dengan penari, dan kedua adalah unsur-unsur diluar kepenarian yang mendukung pertunjukan. Secara structural, pola gerak Tari Remo dikelompokan ke dalam empat bagian besar yaitu meliputi: bagian A sebagai solah kawitan atau ajon-ajon, bagian B meliputi solah pangruwat dan solah busana, bagian C meliputi solah gredoan dan solah badar, dan bagian D meliputi solah pungkasan atau penutup. Konsep Tari Remo gaya Munali Fatah didominasi oleh volume  gerak besar, posisi adeg tanjak kaki membuka lebar, siku lengan di angkat ke atas, arah hadap yang banyak ke depan. Konsep itu dimaknai sebagai penggambaran bentuk kehidupan masyarakat Surabaya yang terbuka, apa adanya dan patang menyerah. 
Tari Remo gaya Munali Fatah ditarkan oleh K.D Sundari selama 6 menit 35 detik. Adapun setting yang digunakan berupa lantai berkramik putih dengan background pintu terbuka. Sedangkan properti setting panggung adalah berupa dua tanaman hijau yang diletakan di sisi kiri dan kanan. Setting panggung menvisualkan dua buah soko besar yang digunakan untuk memperindah sajian bentuk panggung. Selama pementasan berlangsung tidak ada perubahan setting maupun lighting. Lighting yang digunakan adalah cahaya sinar matahari dikala sore.
Bagian A disebut sebagai solah kawitan atau ajon-ajon,  Makna denotasi dalam bagian ini adalah sebagai  awalan tari atau pembuka. Pola struktur gerak Tari Remo pada bagian A dimulai dengan langkah kaki yang disertai dengan suara gongseng. Kemunculan Sundari disorot oleh lampu sinar matahari, yang seakan menawarkan suasana alam. Sundari keluar melewati setting panggung berupa pintu kayu berwarna cokelat, hentakan kakinya yang  mantap menyiratkan tentang awal sang Ksatria meninggalkan rumah demi berperang melawan penjajah. Cring, cring, cring-cring  suara gongseng sundari berbunyi riuh dengan langkah yang tegas. perpaduan busana berwarna merah dengan sampur warna kuning, membuat penonton memusatkan parhatian pada pementasan Sundari.  langkah kaki dan  gerak penthangan tangan memegang sampur menjadi simbol khas Tari Remo gaya Munali Fatah. Masuknya penari menuju panggung ditandai dengan tabuhan kendhang yang terus di lakukan dengan  tempo dinamis, seakan menumbuhkan suasana riang dan semangat. Setelah keluar dari backstage ia menuju center panggung dan melakukan gerak sebalak sampur sebanyak 4 kali dikuti dengan gedek kepala dan gedruk gongseng. Sundari diawal adegan muncul dengan ekspresi tersenyum, seakan ingin menunjukan keramahan dan kenikmatan dalam menari. Namun ekspresi Sundari berubah sesat setelah melaukan gerak iket, tabuhan kedhang pada bagian ini lebih lombo. Gerak iket dilakukan berputar 360 derajat di center panggung. Perubahan ekspresi Sundari merupakan representasi ide cerita seorang Ksaria, sehingga kegagahan karakter ingin diperlihatkan Sundari melalui elemen penguatya. Adapun elemen itu dipadu-padankan dengan volume gerak yang besar, ketajaman gerak dan iringan bertempo patah-patah.
Make-up Sundari menvisualkan kumis, jenggot dan godek berwarna hitam, meskipun Sundari adalah wanita tetapi ia terlihat seperti pria. Penampakan kepenarian Sundari juga dibentuk oleh busana yang dikenakan, seperti iket kepala  dan celana pendek. Setalah melakukan gerak iket pada gerak sebelumnya, Sundari melanjutkan adegan A dengan vokabuler, nebak bumi, keter, iket sabetan, tindak lombo-rangkep, dan iket sabetan. Secara konotasi, bagian ini memiliki makna sebagai awalan kehidupan manusia dilahirkan.
Komposisi gendhing Tari Remo yang digunakan adalah Gendhing Surabayan Laras Slendro Patet Delapan. Selama adegan A dinamika musik menonjolkan pada tabuhan saron, bonang penerus, kedhang, kempul dan kenong. Iringan gendhing dilakukan secara variasi keras maupun lambat, sehingga aksen gerak Sundari dapat terlihat secara jelas. Rangkaian komposisi elemen pembentuk koreografi pada adegan A, dimaknai  sebagai simbol ketegasan yang  memiliki kandungan pesan agar manusia perlu memiliki  ketegasan dalam bersikap.
Pada Bagian selanjutnya yakni bagian B terdiri atas solah pangruwat dan solah busana. Adegan ini dibuka dengan kipatan sampur, suara tabuhan gedhing pada adegan B memiliki tempo yang lebih rancak. Keterkaitan antara gerak pembuka kipatan sampur dengan irama gendhing sebagai penanda dari perlindungan diri. Interpretasi ini diasosiasika atas dasar sampur yang digunakan Sundari adalah simbol senjata untuk menghalau musuh. Gerak nggelap, keter, iket, gendewo lombo-rangkep, iket, tebakan, gedrugan dan iket tanjak, memiliki makna konotasi melajunya anak panah yang sedang dilepaskan dari busur, seakan terbesit bahwa dalam melaksanakan kehidupan manusia akan berhadapan dengan segala hal yang ada didepannya dengan sikap dan daya budinya secepat melepaskan anak panah. Bagian ini sebagai tanda  kewaspadaan prajurit terhadap pengaruh sekitarnya saat berperang.
Busana dan make-up Tari Remo dari adegan A hingga adegan D tidak  menampilakan perubahan, alasanya adalah karena Tari Remo bukanlah tari bergenre drama, tari ini hanya menyajikan suatu cerita dalam durasi yang tidak lama. Namun kombinasi busana dengan make-up dan gerak tari merupakan komposisi yang saling berkaitan. Busana yang digunakan diantaranya iket merah, baju panjang merah/putih, celana, kace hitam, sabuk (stagen), sabuk timang, epek timang, boro-boro, kain jarit, rapek, sembong, sampur, keris, giwang dan gongseng. Busana penari Remo selain menguatkan karaker pada penari, namun juga ragam busana dan pilihan warna tersebut sarat akan makna latar belakang historis cerita. Salah satu yang unsur kostum yang memiliki makna tanda adalah keris. Makna denotasi dari keris pada kostum Tari Remo adalah sebuah pusaka yang dikenakan pada pinggang sebagai pelengkap busana tari. Adapun makna konotasi busana Tari Remo gaya Munali Fatah adalah sebagai penggambaran kekuatan, kekuasaan, arek Jawa Timur.
Adegan solah pengruat memperlihatkan keseriusan sang Ksatria dalam berperang, suara gongseng terdengar lebih menonjol pada bagian ini. Alunan suara kedhang seraya meneguhkan ekspresi Sundari yang serius. Terdapat perubahan pola lantai yang dilakukan bergeser ke kanan, ke kiri, ke depan dan ke belakang. Dari sisi belakang terlihat rambut Sundari yang terikat sebagai penanda seorang laki-laki. Solah pangruwat adalah sebagai gambaran pemeliharaan diri (jiwa dan raga), sebagai upaya manusia agar tetap bersih dari segala hal yang bersifat negative.
Bagian selanjutnya yakni solah busana, motif geraknya meliputi; ngore rekmo, singgetan-ceklekan, singgetan seblakan, singgetan gedrugan, iket, ngayam alas, iket sabetan. Solah busana  sebagai tanda kepedulian manusia untuk merawat badan agar tetap terjaga bersih. Hal tersebut bermakna bahwa dalam kehidupan, manusia wajib selalu menjaga kehidupan dirinya dengan berbusana sepantasnya. Sedangkan yang dimaksud busana adalah cara pandang seseorang dalam kehidupan yang positif bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Gerak gedrug dan  ngore rekmo diulang lebih dari dua kali oleh penari, tambahan ekspresi polatan mata sedikit membesar seakan menandakan pentingnya gerak  ini. Gedrug dan ngore rekmo adalah sebagai simbol bumi tempat mengarungi kehidupan. Gedrug adalah gerakan kaki menghentak bumi, sebagai perlambang kesadaran manusia atas daya hidup yang ada di bumi. Sedangkan Ngore Rekmo sebagai simbol menghias diri yang berkonotasi sebagai pesan manusia harus dapat mengurai segala persoalan yang menitari kehidupan dirinya.
Selanjutnya adalah bagian C terdiri dari dua bagian, yaitu solah gredoan dan solah badar. Solah gredom dibuka dengan bunyi rangkep dan gedek. Penari seakan ingin menonjolkan karakteristik sebagai seorang prajurit yang merindukan kemenangan. Tanda yang berkaitan erat dengan karakter tersebut didukung oleh motif gerak gredoan  yakni meliputi; tranjalan, singgetan, entrog lombo-rangkep, singget-tepisan, singget klewasan, nyeblak tebakan, keter, iket. Motif gerak tari Remo memiliki unsur-unsur pencaksilat Jawa Timur yang ditandai oleh gerakan lengan dan tangan, gerakan kaki, dinamika dan kecepatan. Ekspresi tanpa senyum yang di lakukan Sundari dengan iringan tabuhan semakin cepat menambah semarak sajian ini. Seblak sampur kekanan dan kekiri diikuti oleh tolehan kepala menjadikan pertunjukan semakin memanas. Hal ini juga sebagai tanda kekuatan Ksatria yang tidak mudah menyerah melawan musuh, makna tersebut divisualkan melalui gerak singget-tepisan yang di ulang sebanyak dua kali, gerak ini merupakan simbol dari kecekatan. Gerak tepisan dilakukan di depan perut, sebagai tanda pusat lumbung udara.
Busana merah, celana hitam dan aksesoris berwarna hitam keemasan terasa kontras dengan pencahayaan sinar matahari. Suasana alam terasa lebih kuat ketika Sundari mendekati properti tanaman yang diletakan di sudut kanan dan sudut kiri kemudian diikuti gerak solah badar. Solah badar terdiri dari gerak tari yang dilakukan sambil bergerak berpindah tempat. Motif gerak yang ada bagian ini antara lain; ayam alas, iket-nglandak, tlesikan lombo-rangkep, iket, tatasan lombo, lampah lombo, iket, tatasan kerep, lampah kerep, iket sabetan. Makna konotasi pada bagian solah gredoan adalah sebagai gambaran perjalanan manusia dalam kehidupan di dunia yang berliku dan penuh dinamika. Hal itu bermakna dalam kehidupan manusia harus menyisir berbagai persoalan atau kesulitan yang dialami dengan penuh daya sebagai suatu hal yang wajar dan diahadapi sebagai pengalaman yang memberikan pelajaran tentang hidup. Selanjutnya, solah badar dimaksud sebagai sesuatu yang telah meninggalkan tubuh manusia. Hal tersebut mempunyai pesan bahwa, pada saatnya seseorang akan meninggalkan keduniawiannya, yaitu telah badar dan telah kembali pada kehidupan yang hakiki di alam kelanggengan.
Bagian tari D yaitu solah pungkasan, memiliki makna denotasi sebagai bagian penutup. Tidak banyak motif gerak yang ditampilkan Sundari pada bagian ini, sebagai puncak sajian bagian ini memiliki simbol kemenangan Ksatria saat berperang. Adapun motif geraknya antara lain; ayam alas, iket sabetan, bumi langit kanan, iket sabetan, bumi langit kiri, iket sabetan, bumi langit deoan, tanjak.. Suara tabuhan gamelan pada bagian D terdengar lebih cepat, hal itu dilakukan karena bagian D adalah klimaks dari Tari Remo gaya Munali Fatah. Nada yang didengarkan lebih mendominan pada ketukan bonang serta bunyi kendhang bertempo makin cepat. Pada akhir Tari Remo penari tutup dengan gerak sembahan dan  berputar sebagai tanda syukur. Gerak berputar diakhiri pada center panggung. Secara keseluruhan bagian D memiliki makna konotasinya sebagai akhir kehidupan, yang bermakna bahwa pada saatnya manusia harus meninggalkan dunianya dan jiwa raganya untuk kembali pada pangkuan Tuhan Yang Maha Esa.



KESIMPULAN
Perkembangan selera masyarakat Jawa Timur terhadap seni tari mendorong Tari Remo berubah menjadi bentuk baru, salah satu gaya yang ditawarkan adalah Tari Remo gaya Munali Fatah. Adapun karakteristik yang ditonjolkan ialah bentuk yang sederhana, mudah diikuti dan menekankan pada kekuatan gerak. Tari Remo gaya Munali Fatah dibagi menjadi 4 adegan yakni solah kawitan atau ajon-ajon, solah pangruwat dan solah busana, solah gredoan dan solah badar, dan terakhir solah pungkasan atau penutup. Keseluruhan adegan di maknai menggunakann teori Kowzan, seluruh elemen koreografi digunakan sebagai sistem tanda yang saling berhubungan. Menggunakan paradigma ilmu semiotika Kowazan, Tari Remo Munali Fatah memiliki makna denotasi seorang Ksatria yang berperang melawan penjajah Belanda, alur cerita yang disajikan dimulai dari perjalanan sang Ksatria meningglkan rumah, berperang dan diakhiri oleh kemenangan. Sedangkan makna Konotasinya yakni tentang eksistensi dan pesan moral kepada masyarakat, seperti ma lima (ngerem barang lima) yang digunakan sebagai falsafah hidup dan pesan religi.

DAFTAR PUSTAKA
Hefner, Robert W. 1985. The Politics of Popular Art: Tayuban Dance and Culture Change in East Java. Indonesia.
Sahid, Nur. 2016. Semiotika Untuk Teater, Tari, Wayang Purwa, dan Film. Gigih Pustaka Mandiri. Semarang.
Source > http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/ (diakses tanggal 10 Maret 2017, pukul:21.24 WIB).
Wibisono, Tri Broto. 2015. Tari Ngremo Catatan dari Panggung ke Panggung. Dewan Kesenian Provinsi Jawa Timur. Surabaya.
van Zoest, Art. 1992. Serba Serbi Semiotika. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
van Zoest, Art. 1993. Semiotika Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Yayasan Sumber Agung. Jakarta.



* Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Semiotika Seni, Dosen Pengampu: Dr. Nur Sahid, M.Hum. Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 2017
[1] Tri Broto Wibisono, “Tari Ngremo Catatan dari Panggung ke Panggung”, Dewan Kesenian Jawa Timur: 2015 (hal: 3).
[2] Robert W Hefner, “The Politics of Popular Art: Tayuban Dance and Culture Change in East Java”. Indonesia, 1987 (hal: 79).
[3]Tri Broto Wibisono, “Tari Ngremo Catatan dari Panggung ke Panggung”, Dewan Kesenian Jawa Timur: 2015 (hal: 116).
[4] Nur Sahid, “Semiotika: untuk Teater, Tari, Wayang Purwa, dan Film”, Gigih Pustaka Mandiri: 2016 (hal: 69)
[5]  Tri Broto Wibisono, “Tari Ngremo Catatan dari Panggung ke Panggung”, Dewan Kesenian Jawa Timur: 2015 (hal: 46-47).
[6] Source > http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/ (diakses tanggal 10 Maret 2017, pukul:21.24 WIB)
[7] Nur Sahid, “Semiotika: untuk Teater, Tari, Wayang Purwa, dan Film”, Gigih Pustaka Mandiri: 2016 (hal: 120)

1 komentar:

  1. Berarti bisa disimpulkan Remo Munali Fattah memiliki Habitus tersendiri dan ketika kita menarikannyapun kita juga memiliki habitus itu sendiri. Bagaimana menurut saudari? AFR

    BalasHapus

FOTOGRAFI SINEMATIK KARYA SAM NUGROHO DALAM KAJIAN SEMIOTIK

  “1939 ! ” FOTOGRAFI SINEMATIK KARYA SAM NUGROHO DALAM KAJIAN SEMIOTIKA ROLAND BARTHES Oleh: Sapta Agus Kristanto dan Bonifaci...