MEMBACA TANDA DALAM ‘PINA’


MEMBACA TANDA DALAM ‘PINA’
Oleh : Galih Prakasiwi*
Latar Belakang
‘Pina’ adalah judul sebuah film yang disutradarai oleh Wim Wenders sebagai dokumentasi 3D atas karya-karya Pina Bausch. Film yang mulai diproduksi pada 2009 awalnya merupakan proyek kolaborasi Pina dan Wim Wenders, namun dua hari menjelang shooting dilakukan Pina Bausch meninggal dunia. Berkembanglah film ini menjadi sebuah persembahan untuk Pina (tribute to Pina) yang diputar untuk pertama kalinya akhir 2011 di Amerika[1].
Philipine (Pina) Bausch adalah seorang koreografer pembaharu pada zamannya dan dikenal kerap menghadirkan karya-karya jenis dance theater  (teater tari), bahkan ketika orang mendengar dance theater impresi pertama yang diingat adalah sosoknya. Berkenaan dengan hal itu, perbincangan mengenai Pina pun erat terkait dengan Wuppertal Tanztheater Jerman. Pemberian nama tanztheater (dance theater) pada ‘lembaga’ ini pun dibubuhkan oleh Pina dari semula hanya teater saja. Pina, yang lahir di tahun 1940, tubuhnya terdisiplinkan dengan vokabuler tubuh tari Ballet klasik selayaknya kebanyakan anak yang lebih terarah untuk belajar tari Ballet pada waktu itu. Seiring berjalannya waktu dan pengalaman belajar yang telah ditempuh, Pina lalu menginginkan untuk berkreasi dan melampaui aturan tari Ballet yang mengekang. Pina meliarkan imajinasinya meskipun beberapa menjadi catatan yang kontroversial di kalangan kritikus. Banyak karya telah lahir dari tangan Pina dengan genre dance theater dan juga beberapa film Pina maupun tentangnya bersama Wuppertal Tanztheater.
Manusia mengenal simbol-simbol termasuk juga dalam bahasa yang selalu digunakan setiap hari, sebagaimana yang telah diungkap Saussure bahwa bahasa merupakan sistem tanda yang paling lengkap[2]. Apapun bentuknya, seni juga bahasa simbol yang dapat diterjemahkan dalam artian sebenarnya (denotatif) ataupun kiasan (konotatif).  Seperti yang diungkap oleh Elam bahwa seni merupakan sebuah entitas yang terdiri dari sekumpulan tanda-tanda. Kowzan pun mengelompokkannya dalam tanda natural dan tanda artificial[3]. Teks karya seni memunculkan atribut-atribut yang dimaknai sebagai  benda  sebenarnya, namun seniman tentu memiliki alasan atas kehadiran teks-teks tersebut. Konstelasi sebuah teks pun memuat kontestasi penafsiran, tampak ketika proses kreatifnya telah usai dan disampaikan pada penonton atau penikmat seni, karya itu kemudian dapat memiliki interpretasi yang beragam dari orang yang menonton atas tanda yang dihadirkan oleh seniman. ‘Pina’ pun demikian halnya, film itu mengartikulasikan tentang sosok seorang Pina Bausch baik dilihat dari karya, prosesnya berkarya, maupun hidup yang ia warnai dengan tarian. Bagaimana konstruksi pemikiran yang dibangun oleh Pina hingga kemudian melahirkan anak didik yang merindu sosoknya.
Melihat Pina menjadi penting sebagai sebuah referensi, melihat kemungkinan-kemungkinan yang dilihat oleh orang dapat menginspirasi baik dari sisi mengemas pertunjukan itu, gagasan yang diusung, maupun motivasi dibalik karya yang ditampilkan. Dance theater di Yogyakarta dilakukan oleh seniman Bimo Wiwohatmo yang secara terang-terangan dalam kelompok atau institusi bentukannya dibubuhkan nama Bimo Dance theater (BDT). Ulasan dalam artikel ini yang mengulik  ’Pina’ diharapkan akan dapat mengakrabkan bagaimana dance theater ini digagas oleh Pina dan serta bagaimana ia menghadirkan tanda-tanda dalam karyanya.

Tujuan
Artikel ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai ‘Pina’ dan tanda-tanda yang terdapat di dalamnya, sebagai wawasan, membantu pemahaman, bahkan pematik untuk seniman (secara khusus) untuk berkarya.

Landasan Teori
Tari, teater, dan film memiliki kedekatan dalam sistem pemaknaan tandanya, maka 13 sistem tanda yang digagas oleh Kowzan akan digunakan dalam analisisnya. Kowzan menilik dari elemen-elemen pembentuk karya sehingga dirasa cocok untuk melihat permasalahan ini. Seperti kata, nada, gesture, mime, gerak, tata rias (make up), tata rambut (hairstyle), busana (kostum), properti, tata cahaya (lighting), setting, musik, dan efek suara (sound effect). ‘Pina’ termasuk dalam kategori ketiganya (tari, teater, film) karena karya tersebut merupakan pertunjukan dance theater yang dikemas dalam bentuk film. Pandangan yang akan disajikan dari sudut pandang penulis sebagai pembaca karya, sebagaimana yang diungkap Roland Barthes mengenai ‘the death of the author’. St. Sunardi menyampaikan bahwa kematian pengarang disini bukan menghilangkan atau menisbikan pengarang (creator), akan tetapi otorisasi dari pengarangya lah yang dihilangkan. Wacana dari teks yang telah didistribusikan pada penonton menjadi wilayah penonton untuk memberikan analisanya.  
 Pembahasan
Pina Bausch fokus pada pengerjaan genre dance theater. Genre tersebut dipilih sebagai bentuk resistensinya terhadap pendisiplinan yang ia dapatkan di tari Ballet. Tubuh sebagai objek yang dikenai beberapa aturan untuk mendapatkan tubuh ballet yang ideal. Lalu Pina mencari kemungkinan pengolahan lain yang kemudian ia realisasikan dengan bereksperiman atas tubuhnya sendiri, meski dalam beberapa karya kosa gerak Ballet dihadirkan. Kehadiran kosa Ballet di antara kosa gerak lain dengan menanggalkan beberapa ‘pakem’ yang melekat justru semakin menandaskan asa dekonstruksi yang diusungnya.  Norbert Servos menyatakan :
Dance theater, a mixture of dance and theatre modes, opened up a new dimension for both genres. Basically the term stood for a kind of theatre that was aiming at something new both in form and content

Tulisan Servos tersebut mengungkap jenis genre yang ditekuni oleh Pina ini menjadi sebuah dimensi baru. Tidak dapat disebut sebagai tari saja atau teater saja tetapi keduanya, teater tari (dance theater).  Sebuah bentuk baru baik dari sisi bentuk maupun konten. Beberapa karya Pina terdapat penokohan, narasi verbal, pengolahan gestur, juga gerak tari sebagaimana yang ia ungkap sebagai Ausdruckstanz (tarian ekspresi / dance of expression).  Secara umum tari memiliki dasar elemen waktu, ruang, dan tubuh (time, space, and body art). Kemudian menjadi hal yang  menarik ketika Servos melanjutkan dalam analisanya bahwa Pina berusaha mendekatkan sebuah kata koreografi pada definisi terdekat sebagai sebuah koneksi antargerak. Pina tidak mengkoreografikan material tertentu namun ia mendudukkan elemen individual di dalamnya, dengan dance theater ia mengakomodir energi dalam tubuh dan menjadikannya sebagai sejarah ketubuhan.
Rekonseptualisasi inilah yang sejalan dengan asa postmodernisme.  Shu-Lan Miranda Ni dalam desertasinya menyebutkan bahwa Pina berkarya dengan  interdisiplinaritas dan saling silang genre[4]. Batas-batas kategorisasi dalam sebuah ruang pertunjukan semakin semu, hal ini ditunjukkan dalam ‘Pina’ yang menghadirkan dance theater dalam film. Dance theater yang biasa dilihat dalam sebuah kemasan pertunjukan di atas panggung atau di tengah area publik dilihat langsung oleh penonton, kali ini melalui filter kamera. Hal tersebut bukan juga hal yang mudah, Roxborough mengungkap paparan Wenders bahwa ketika pertunjukan direkam oleh kamera ketika mengambil satu sisi maka sisi lain yang ‘dibelakang’ kamera tidak terlihat maka film ini kemudian dikemas dengan teknologi 3D. Kendala mengenai ruang pun terselesaikan, namun kendala lain muncul yakni gerak. 3D tidak dapat menangkap gerak yang berpindah dengan cepat, maka perlu penyesuaian dalam beberapa hal.[5] Sebuah tawaran alternatif, mata penonton diwakilkan oleh mata kamera dalam melihat pertunjukannya. Kemudian penonton mlakukan pembacaan atas apa yang ditangkap oleh mata kamera. Wenders dengan jeli tak menyia-nyiakan kesempatan ini, justru ‘Pina’ membuat penonton merasa yakin bahwa ‘Pina’ hanya bisa dinikmati dan dibaca dari depan layar kaca. Hal itu berkenaan dengan sudut pengambilan gambar dan penyusunan adegan satu ke adegan yang lain.
‘Pina’ menunjukkan kolase perjalanan Pina Bausch semasa hidupnya. Karya-karya unggul Pina hadir di sebuah panggung pertunjukan, dicerap lalu dihadirkan kembali dalam bentuk dan penyajian yang berbeda oleh orang-orang yang pernah berproses bersama Pina. Satu persatu mengantarkan dengan menarasikan Pina dalam tuturnya, raut wajah mereka tampak muram dalam mulut yang terkatup beberapa diantaranya tersenyum simpul, setiap mata terlihat merindu sosok Pina. Mereka bertutur atas diri Pina dan bagaimana ia berkarya. Dari susunan adegan per adegan tampak menuntun pada perjalanan hidup Pina sebagai Pina dan Pina sebagai manusia. Hal tersebut ditunjukkan dari pemilihan karya pertama yang dihadirkan yakni Danza.
Danza muncul dengan mengartikulasikan 4 musim: musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin dalam bentuk gerak. Musim-musim ini sebagai penanda atas penggambaran hidup yang dilalui. Ide mengenai musim itu lantas dituangkan ke dalam bahasa gerak tiap musimnya. Seorang wanita berdiri di tengah panggung, tubuh kurusnya hanya dibalut celana dalam besar, tampak ia membawa alat musik accordion digantungkan seperti tas ransel di depan tubuhnya sebagai busana, lalu sepatu high heels berwarna hitam menghias kaki jenjangnya. Ia menyebut nama musim-musim itu sembari menggerakkan kedua tangannya. Hal tersebut menjadi upaya untuk menyepakati pemaknaan tanda. Secara langsung ditanamkan kesepakatan dengan penonton, bahwa ketika kedua tangan berada di depan pusar dan bergerak ke arah luar (kanan dan kiri) menggambarkan musim semi (spring). Musim semi itu tampak memiliki makna kiasan bagi kemunculan awal kehidupan. Kata ‘spring’ yang dituturkan oleh wanita itu sebagai petanda, gerak tangan seperti yang telah disebut di atas sebagai penanda. Kedua hal tersebut juga sebagai petanda dan makna kias dari musim semi itu sebagai penanda. Begitu pula pola pemaknaan bagi musim yang lain. Musim panas (summer) digerakkan dengan mengangkat tangan kanan menyerupai bentuk matahari (penanda), lalu ketika musim gugur (autumn) digambarkan seperti daun jatuh. Hingga kemudian musim dingin (winter) datang dengan gerak mengatupkan kedua tangan dan menggigil (penanda). Setiap orang dianggap telah memiliki pengalaman empiris bagaimana respon tubuh ketika berada dalam masing-masing  musim itu (denotatif). Di sisi lain, serangkaian gerak itu memiliki makna konotatif bahwa manusia lahir lalu mengalami proses hidup kemudian gugur (meninggal) dan menyisakan hawa dingin bagi orang yang ditinggalkan. Makna lain yang tersirat bahwa dalam hidup manusia mengalami pergerakan dalam babak-babak kehidupan. Satu rangkaian gerak ini dilakukan oleh beberapa orang dengan berbaris dalam irama yang konstan dan repetitif. Bagian ini ditangkap juga sebagai pengantar penonton bahwa awalnya Pina belajar tari dari sesuatu yang sifatnya membutuhkan keajegan.
Secara keseluruhan, film ini terjadi atas beberapa karya utama dan yang lain menjadi sebuah karya turunan. Karya utama cenderung memilih tempat di panggung pertunjukan, sedang karya turunannya berada di luar bangunan permanen. Pada bagian awal yang menjadi karya utama adalah ‘Death Can Dance’ dan ‘Café Müller’. Makalah kali ini akan lebih menyorot pada Death Can Dance dan turunan karyanya yakni Fall Dance dan Eskalator. Karya-karya Pina cenderung repetitif berkesan memberikan aksen penebalan atas apa yang ingin ditandaskan.

Death Can Dance
Adegan pertama  dibuka dengan persiapan tempat yakni meletakkan pasir di panggung, meskipun panggung (stage) merupakan area konvensional hingga keberadaan pasir mengaburkan ‘kekonvensionalannya’. Pertunjukan dibuka dengan seseorang yang  tidur di atas selembar kain berwarna merah, rupanya itu gaun. Suasana musik tenang namun misterius, lampu panggung yang menyorot padanya tampak membuat ruang sempit hanya bisa dilalui oleh satu orang. Beberapa penari yang lain datang lalu merebahkan diri menyebar di beberapa titik. Hal ini secara konotatif tampak mereka adalah turunan pikir dari gadis yang merebahkan diri di selembar kain itu, orang-orang yang datang menjadi representasi dari hal-hal dari luar dirinya yang berkecamuk. Lalu ia mulai bangun dan meraba kain merah (petanda) itu seolah mempertanyakan ini apa dan dijawab bahwa itu adalah kematian (penanda) maka ia dengan segera melepas dan membuang kain yang berada di tangannya dengan raut wajah menegang. Orang-orang saling merapat tampak seperti menjadi satu koloni dengan pandangan mata yang tertuju pada kain merah. Kamera menuntun fokus pada kain merah lalu penari bergerak bersama (rampak simultan). Kemudian adegan bertumpuk dengan peristiwa latihan yang dilakukan oleh Pina dalam gerak yang sama. Tergambar suasana ketika Pina mengajar. Hal ini menyiratkan bahwa spirit karya Pina dapat terus dilanjutkan, absennya Pina secara fisik tak menyurutkan kehadirannya melalui karya yang dibawakan oleh murid maupun orang-orang yang pernah berproses dan mengikuti jejaknya. 
Adegan kedua, kelompok rampak wanita ditambah oleh kelompok pria. Para wanita menggunakan gaun sepanjang lutut berwarna krem senada dengan warna kulit. Para pria itu seragam tak menggunakan baju atasan dan hanya menggunakan celana panjang berwarna hitam. Beberapa gerak yang dihadirkan oleh kelompok wanita maupun pria merupakan kosa gerak Ballet yang diolah kembali, seperti lompatan. Kosa Ballet ini terlihat sebagai sebuah upaya resistensi dari Ballet yang lekat dengan aturan-aturan seperti pakaian, rok tutu dan sepatu ballet. Pertunjukan ini menawarkan hal yang sebaliknya yakni dengan pakaian yang ‘sederhana’, bertelanjang kaki, bahkan beralaskan tanah.
Kelompok pria dan wanita menari dengan saling bersebarangan. Ada satu orang yang terpisah dari kelompoknya lalu melihat gaun merah itu. Gerak para wanita menarik tangan dengan tegas menunjukkan ada tarik menarik dengan kematian (konotatif) yang disimbolkan dengan gaun merah namun juga tampak seperti menyakiti diri dengan memukul dan menusuk diri, sementara seseorang laki-laki muncul sebagai seorang tokoh. Kesakitan itu berkonotasi pada roda kehidupan manusia yang tengah berada di ‘bawah’, dapat juga ditarik atas pengalaman sakit Pina diujung hidupnya.  Lalu bernarasi bahwa ada yang meninggalkanmu hingga tak bisa lagi berkata-kata, yang bisa dilakukan dengan menyembunyikan. Kata-kata  pun bahkan tak dapat berbuat lebih, disitulah tari datang. Serupa dengan pernyataan Pina dalam pidatonya[6] :
“Actually, the whole time I only wanted to dance. I had to dance, simply had to dance. That was the language with which I was able to express myself.”
Pernyataan Pina tersebut menunjukkan bahwa tari memiliki kedudukan yang penting dalam dirinya, untuk menuangkan ekspresi bahkan menyuarakan mengenai diri sebagai alat komunikasi.
Close up wajah Pina yang mulai renta hadir kemudian membuat interpretasi menjadi berkembang, apakah gaun merah itu justru diibaratkan secara bergantian laki-laki dan perempuan melihat gaun itu. Penari putri berjingkat seperti memakai sepatu Ballet namun mereka nyatanya bertelanjang kaki, penari wanita membuat lingkaran dan salah satu diantaranya mengambil gaun merah sembari berkontak mata dengan satu penari laki-laki. Para wanita tampak ingin melindungi sesuatu. Satu persatu dari wanita-wanita itu datang pada sang lelaki yng bertubuh kurus dan jangkung itu, disini peran kamera menjadi mata si tokoh laki-laki sehingga air muka dan keintiman relasinya menjadi berbeda, menjadi lebih erat. Penonton pun diberi tantangan melalui sudut pandang penari, membuat jaraknya semakin dekat. Raut wajah yang ketakutan dari masing-masing wanita tampak jelas,  wanita yang akan menyerahkan gaun merah itu saat akan disentuh justru lari menjauh dan menyerahkan gaun merah itu pada wanita lain. Hingga akhirnya satu orang terakhir ditarik oleh si laki-laki.
Adegan ketiga. Wanita yang ditarik itu telah berganti baju dengan gaun merah. Ketika dibawa ke arena tengah masyarakat, orang-orang lantas menghindarinya. Hal ini menunjukkan ada sesuatu yang janggal dari gaun itu. Tarian berakhir ketika wanita berkain merah itu lepas dari tangan si laki-laki. Tampak ingin pergi dan ada masalah baru di luar sana. Kumpulan orang yang lain memusatkan perhatian pada gadis bergaun merah tampak akan menikam.
Pertunjukan yang dimulai pada menit ke-15 tersebut membawa penonton dalam ruang imajinasi beragam. Suasana teater terasa karena adanya penokohan  dan raut wajah yang berubah dengan jelas, lalu dikuatkan pula oleh gerak tarinya. Mata penonton harus mengikuti mata kamera dimana ia akan membawa pada gambar yang mana menjadi elemen dari film, terlebih musik iringannya pun tampak seperti orkestra yang selayaknya ada dalam film maupun tari Ballet.
Death can Dance secara keseluruhan menyiratkan (dan sebagai pengingat) bahwa bayangan kematian senantiasa menari-nari dalam setiap diri yang bernyawa, bahkan bagi sebagian orang itu mengerikan dan menjadi sebuah ancaman. Kematian pun akan datang dengan pasti tanpa dapat ditolak secara sadar.  Di sisi lain, pertunjukan ini pun membawa penonton (tentunya) pada sosok Pina. Death can dance, Pina yang telah tiada (meninggal) pun ‘bisa’ menari. Menari melalui jiwa dan tubuh orang-orang yang mengikuti jejaknya. Hadir dalam diri setiap orang yang ingin menari untuknya, menarikan karyanya, maupun mendapatkan inspirasi dari sosoknya.

Fall Dance
Usai ‘Death can Dance’ dua tokohnya tampil kembali di sebuah taman pada siang hari dengan pakaian formal. Sang wanita mengenakan gaun panjang berwarna hitam dengan motif polkadot merah, sedangkan tokoh pria menggunakan setelan jas berwarna abu-abu. Hal ini dibaca sebagai pembalikkan dari ‘Dead Can Dance’ sekaligus berkelanjutan. Pemilihan tempat pertunjukan Fall Dance di area terbuka (outdoor) memberikan sebuah tawaran lain, tata cahaya alami pada siang hari dengan cahaya matahari pun menegasikan stage yang gelap dan serba hitam. Tempat pertunjukan Fall Dance memiliki tiga level dalam satu bingkai yakni taman (area rumput), ‘panggung’ (area bertangga), dan latar belakang bukit beserta pepohonan sebagai background. Ketiga level tersebut sebagai sebuah petanda bagi kehidupan manusia yang juga tidak berada dalam satu level yang sama. Ada kalanya manusia berada di tempat yang ‘tinggi’ dan terkadang berada di posisi yang ‘rendah’. Seolah hal tersebut juga menunjukkan bahwa Pina dapat berkarya di area yang beragam, yang terpenting adalah ekspresi serta olah rasa yang tertuang. Ketika berada di area stage justru memakai pakaian ‘sederhana’ dan bertelanjang kaki, sedangkan ketika berada di luar justru bersepatu dan berpakaian formal. Hal ini pun menyiratkan bahwa panggung adalah milik performer untuk menuangkan gagasan bahkan mengenalkan diri. Konvensi pun ditabrak, bahkan yang terlihat panggung ‘formal’ dibarengi dengan busana ‘nonformal’ sedangkan panggung ‘nonformal’ dengan pakaian formal dalam konteks pertunjukan ini.
Pemeran wanita dan pria dalam Fall Dance merupakan pemeran tokoh dalam ‘Dead Can Dance’. Wanita bergaun merah yang melangkah pergi dan pria yang mengulurkan tangan kanannya, adegan tersebut terintegrasi  dengan adegan Fall Dance. Wanita itu jalan terlebih dahulu kemudian pria mengikuti sembari memerhatikan wanitanya, ketika pria itu berada di depannya menangkap sang wanita yang menjatuhkan diri ke depan dengan pasrah lalu dituntun untuk berdiri lagi dengan mundur. Hal itu terulang hingga kali ke tiga dan ditutup dengan arah jatuh ke kanan penonton. Dalam tarian ini dipilih iringan musik The Here and After dari Jun Miyake, berikut liriknya :


spawn inside this memory again
one earthbound minute, unbent
a moment broken
softly spoken, magic
so here we are

night has thrown its heels at our door
and stormed its way in, bidden
our feet in drunken incantations, moving

happily, happily, ever after
with kisses and curses, dripped in laughter

happily, happily, would I disappear
wishes and wasted breath
at closest dreaming
so far away
counting down
in twos and in threes
with never a word, out loud
this hidden temple, decalescent, stepping

happily, happily, ever after
with kisses and curses, dripped in laughter

hurry to lay it down
where I've made my bed
wishes and wasted breath
at closest dreaming

so far away

as we grow
as we go
to the here and after
I've never forsaken you
that's really something

so hurry to lay me down
where I've made my bed
tends to a wilted pale
throwing up a beat
kick it down
This son



Terjemahan bebas:


membiakkan di dalam memori ini lagi
satu menit membumi
saat rusak
lembut berbicara, sihir
jadi di sini kita

malam telah dilemparkan tumit di pintu kami
dan menyerbu jalan di, diperintahkan
kaki kami di mantra mabuk, bergerak

gembira, bahagia, selamanya
dengan ciuman dan kutukan, menetes di tawa

gembira, bahagia, akan saya menghilang
keinginan dan napas terbuang
di bermimpi terdekat
begitu jauh

menghitung mundur
berdua-dua dan bertiga
dengan tidak pernah kata, suara keras
ini candi tersembunyi, loncatan

gembira, bahagia, selamanya
dengan ciuman dan kutukan, menetes di tawa

terburu-buru memberikannya
di mana saya telah membuat tempat tidur
keinginan dan napas terbuang
di bermimpi terdekat

begitu jauh

seperti yang kita tumbuh
seperti yang kita pergi
ke sini dan setelah
Aku tidak pernah meninggalkan Anda
itu benar-benar sesuatu

sehingga terburu-buru untuk meletakkan saya turun
di mana saya telah membuat tempat tidur
cenderung pucat layu
muntah mengalahkan
menendang ke bawah
anak ini

Lirik lagu tentu sesuatu yang puitis dan dapat dimaknai secara prismatik, sehingga terjemahan bebas pun tidak membantu secara signifikan. Lirik tersebut menunjukkan korelasi Fall Dance dengan Death can Dance sebelumnya. Tari atau gerak tubuh juga merupakan sebuah memori yang dapat dipanggil (recall) dengan kosa gerak yang telah dialami atau pun dicari sebelumnya. Sebuah resistensi dari  tubuh yang dikenai aturan kuat. Mematikan untuk berinovasi sehingga dapat terus menari dalam jiwa yang ingin berekspresi sebebasnya. Pina tampak memberikan tawaran pada sebuah pertunjukan antara lain pemanfaatan tempat yang ditunjukkan, juga struktur pertunjukan yang sesungguhnya tidak terlalu linear terlihat bagian awal, tengah, dan akhirnya, durasi yang singkat dengan gerak yang berulang. 
  
Simpulan
       Konstelasi pertunjukan adalah sebuah arena kontestasi bagi pembuat (creator), pengamat, kritikus, maupun penonton. Teks-teks mendistribusikan tanda-tanda yang terkadang dapat ditangkap baik tersurat maupun tersirat. Korelasi antartanda menjadi hal penting untuk dilihat meskipun masing-masing pembaca dapat memberikan interpretasinya masing-masing. Hal tersebut tetap bisa diterima mengingat pengalaman estetis yang berbeda.
‘Pina’ adalah sebuah film yang dedikasikan untuk Pina Bausch oleh orang-orang yang pernah berkarya bersamanya. Sebuah interaksi interdisipliner antara tari, teater, dan film.  Asa dekonstruksi Pina hadir dalam karyanya, bagaimana apa yang disebut orang representatif dan ideal oleh Pina tidak menjadi persoalan yang utama dan mendesak. ‘Pina’ pun menghadirkan kembali Pina Bausch untuk dicerap asa dan idenya agar kita selalu tertantang untuk mengembangkan kreativitas. Emansipasi bagi tubuh sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.
Carter, Alexandra (ed.). 1998. The Routledge Dance Studies Reader. London and New York: Routledge.
Moran, Joe. 2002. Interdisiplinarity. New York : Routledge.
Sahid, Nur. 2016. Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang Purwa, dan Film.Semarang : Gigih Pustaka Mandiri.
St. Sunardi. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal.
Sternberg, Robert J. 1999. Handbook of Creativity. New York: Cambridge University Press.
E-sources:
Coates, Emily. BEYOND THE VISIBLE: The Legacies of Merce Cunningham and Pina Bausch. PAJ: A Journal of Performance and Art, Vol. 32, No. 2 (MAY 2010), pp. 1-7 Published by: The MIT Press on behalf of Performing Arts Journal, Inc .Stable URL: http://www.jstor.org/stable/40856535. 13-03-2017 05:43 UTC
https://en.wikipedia.org/wiki/Pina_Bausch diakses pada Rabu, 15 Maret 2017 pukul 17.15 WIB
MacNeill, Kate. 2009. Pina Bausch, Creative Industries and the Materiality of Artistic Labour, International Journal of Cultural Policy, 15:3, 301-313, DOI: 10.1080/10286630902785623.
Ni, Shu-Lan Miranda. 2002. “The Development of a Genre: Pina Bausch and Late Twentieth-Century Dance Theater”. A Dissertation in Fine Arts Submitted to Graduate Faculty of Texas Tech University in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy.
Roxborough, Scott. Wim Wenders' New Dimension. Hollywood Reporter (Magazine); Feb 9, 2011; 417. Research Library. pg. 74



* Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Semiotika Seni, Dosen Pengampu: Dr. Nur Sahid, M.Hum. Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 2017
[2] Sahid,Nur. 2016. Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang Purwa, dan Film. Semarang: Gigih Pustaka Mandiri. p.4.
[3] Sahid. 2016. p.21.
[4] Ni, Shu-Lan Miranda., 2002, “The Development of a Genre: Pina Bausch and Late Twentieth-Century Dance Theater”, A Dissertation in Fine Arts Submitted to Graduate Faculty of Texas Tech University in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy, p.180.
[5] Roxborough,  2011,  Wim Wenders' New Dimension. Hollywood Reporter, Research Library, p.74
[6] “What Moves Me” speech held by Pina Bausch on the occasion of the Kyoto Prize award ceremony in 2007. Published by courtesy of the Inamori Foundation. http://www.pinabausch.org/en/pina/what-moves-me.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FOTOGRAFI SINEMATIK KARYA SAM NUGROHO DALAM KAJIAN SEMIOTIK

  “1939 ! ” FOTOGRAFI SINEMATIK KARYA SAM NUGROHO DALAM KAJIAN SEMIOTIKA ROLAND BARTHES Oleh: Sapta Agus Kristanto dan Bonifaci...