MELIHAT EFEK SIMBOLIK MUSIKAL DENGAN MENGGUNAKAN SEMIOTIKA PEIRCE

MELIHAT EFEK SIMBOLIK MUSIKAL MELALUI BENTUK TIRUAN ALAT MUSIK PADA FESTIVAL PASAR KERONCONG KOTAGEDE TAHUN 2016

Oleh
Dedi Novaldi*


BAB I
PENGANTAR


A.    Latar Belakang
Perkembangan seni pertunjukan di Indonesia saat ini begitu pesat dan cukup signifikan kehadirannya sehingga dibanyak kota muncul beragam kelompok seni dengan pelbagai macam jenis kesenian yang diusungnya. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya agenda pertunjukan seni yang diselenggarakan diberbagai tempat. Dengan banyaknya agenda pertunjukan yang diselenggarakan dipelbagai kota dan daerah, festival seni pertunjukan merupakan salah satu bentuk agenda yang kerap menjadi pilihan bagi kelompok-kelompok kesenian untuk bisa menampilkan karya seninya kepada masyarakat luas, dalam hal ini adalah penonton.
Festival-festival di Indonesia pun saat ini semakin bervariasi, baik dilihat dari aspek penyelenggaraannya hingga kualitas para penampil yang dihadirkan, bahkan tidak sedikit dari festival yang ada di Indonesia sudah sangat terkenal di dunia internasional sehingga banyak dari seniman atau kelompok kesenian dari banyak negara ingin tampil di festival yang ada di Indonesia. Sebut saja diantaranya seperti Indonesia Dance Festival, Java Jazz Festival, International Biennale Puppet Festival, Ubud Writers & Readers Festival dan masih banyak lagi yang lainnya.
Setiap festival yang diselenggarakan tentunya memiliki keunikan yang berbeda satu sama lain, hal ini tergantung dari konsep event, tema yang diusung, hingga konsep artistik yang digunakan. Tulisan ini akan mencoba menganalisa konsep artistik sebuah festival dan kaitannya dengan jenis musik keroncong yang dilihat dari sudut pandang semiotika pada salah satu festival musik keroncong yang diadakan di kota Yogyakarta pada akhir tahun 2016 lalu.
Sebuah peristiwa untuk para seniman, penikmat dan pemerhati musik keroncong dihelat pada Desember 2016, peristiwa ini diwujudkan dalam sebuah festival yang diberi nama Pasar Keroncong Kotagede. Festival Pasar Keroncong Kotagede ini merupakan pelaksanaa yang kali kedua diselenggarakan di Kotagede Yogyakarta. Ada konsep event yang menarik dan berbeda dari pelaksanaan kali kedua ini dari tahun sebelumnnya. Penyelnggaraan kali kedua ini menggunakan tiga panggung utama yang diposisikan di tiga tempat yang berbeda. Penempatan tiga panggung tersebut seperti sengaja dibuat dan diletakan di tiga tempat yang berbeda di sekitar Kotagede, sehingga selain bisa memilih pelbagai pertunjukan musik dari grup yang berbeda-beda, tapi pengunjung juga bisa menikmati suasana yang ada disekitar area festival di Kotagede tersebut.
Hampir setiap sudut di Kotagede penyelenggara festival membuat pelbagai macam bentuk properti artistik yang erat kaitannya dengan musik keroncong. Penempatan properti artistik tersebut dipasang secara tidak beraturan dengan bentuk yang berbeda-beda pula, salah satunya bentuk alat musik cuk. Cak merupakan alat musik yang berbentuk gitar hampir seperti alat music gitar dengan perbedaannya terletak pada ukurannya yang kecil, jenis dawai yang digunakan berbeda dan berjumlah lebih sedikit dibadingkan alat musi gitar. Alat musik Cak juga menjadi salah satu alat musik yang penting dari jenis musik keroncong sehingga kehadirannya menjadi sangat penting dalam sebuah grup musik keroncong. Pada festival Pasar Keroncong Kotagede replika atau tiruan alat musik cuk inin dihadirkan diberbagai sudut area festival.

B.     Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk melihat hubungan antara musik keroncong melalui tanda yang dihadirkan pada festival Pasar Keroncong Kotagede dilihat dari sudut pandang ilmu semiotika.

C.    Pendekatan Teori
Tulisan ini menggunakan pendekatan teori semiotika dari Charles Sanders Peirce agar dapat membantu pembaca melihat dan memahami tanda yang dihadirkan dalam penyelanggaraan festival Pasar Keroncong Kotagede tahun 2016.
Peirce merupakan salah satu tokoh dalam bidang ilmu semiotika. Menurut Peirce tanda mengacu kepada sesuatu yang disebut objek, yang disebut mengacu adalah ‘mewakili’ atau ‘menggantikan’ dan bukan berarti ‘mengingatkan’ (kata “meja” mewakili objek meja). Tanda harus dapat ditangkap agar dapat berfungsi. Tanda hanya dapat berfungsi apabila ada yang menjadi dasarnya (ground).[1]
Lebih jauh tentang prinsip dari pemikiran Peirce adalah tentang relasi. Melalui Aart Van Zoest dalam bukunya menuliskan bahwa Peirce melihat fungsi esensial sebuah tanda adalah menjadikan relasi yang tidak efisien menjadi efisien, tidak dengan maksud mengaktifkan mereka, tetapi untuk membiasakan diri menyusun peraturan ataupun sistem yang dapat menjadikan relasi-relasi itu berfungsi pada saat diperlukan.[2]
Berdasarkan dari pemikiran  Peirce tentang relasi dan konsep ground nya inilah konsep musikal yang dihadirkan dalam bentuk sebuah tanda dan kaitannya dengan festival Pasar Keroncong Kotagede dianalisa.

BAB II
PEMBAHASAN

Pasar Keroncong Kotagede adalah sebuah festival musik keroncong diselenggarakan setiap tahunnya di Kotagede Yogyakarta. Selain menghadirkan pelbagai musisi keroncong ternama bahkan musisi lintas genre, festival ini juga menyuguhkan pelbagai macam bentuk artisik yang menarik, sehingga tidak hanya mampu mendatangkan banyak pengunjung tapi juga pengunjung rela menghabiskan waktu berlama-lama disekitar area festival.
Bentuk tiruan alat musik keroncong yang disebut cuk ditampilkan diruang publik dan bisa dilihat oleh pengunjung festival. Memang dalam sebuah grup musik keroncong kehadiran alat musik cuk memiliki peranan sangat penting. Kehadiran alat musik cuk menjadi penting karena dengan alat ini gaya dari musik keroncong bisa dibedakan dengan jenis musik yang lainnya. Tanpa adanya alat musik cuk sebuah kelompok musik keroncong belum tentu bisa memainkan gaya musik yang dinamakan dengan keroncong. Hal ini yang menjadikan alat musik tersebut memiliki peranan penting.
Namun kemudian, apakah bentuk tiruan dari alat musik cuk tersebut memberikan makna tersendiri atau bahkan menyampaikan pesan tertentu yang berkaitan dengan festival yang diselenggarakan. Jawabannya bisa jadi iya, karena bentuk tiruan alat musik itu bisa merupakan sebuah ikon yang menjadi tanda bahwa di area lokasi Kotagede sedang berlangsung festival musik keroncong. Pemilihan alat musik cuk juga bisa sebagai penyampai pesan kepada khalayak banyak bahwa musik keroncong sangat indentik dengan alat musik cuk. Tetapi perlu diamati atas apa yang dikatakan oleh Peirce melalui bukunya Zoest bahwa pertama-tama, tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda. Sifat ‘dapat diamati’ ini memang ada batasnya, tetapi batas ini tidak dapat dirumuskan dengan tepat.[3]
Jika ditinjau lebih jauh berdasarkan konsep hubungan triadik dari Peirce, dalah hal ini alat musik cuk yang dimainkan oleh grup musik keroncong pada festival Pasar Keroncong Kotagede tersebut sabegai objek, kemudian tiruan alat musik cuk tersebut bisa dikatakan sebagai ground nya, lalu jenis musik keroncong sebagai interpretan nya. Dijelaskan oleh Nur Sahid dalam bukunya bahwa yang disebut interpretan bukanlah orang yang memberikan interpretasi, melainkan pemahaman makna yang timbul dalam diri si penerima tanda.[4]
Jadi tiruan alat musik cuk yang dihadirkan tersebut memberikan makna tentang sedang ada peristiwa yang berhubungan dengan musik keroncong di tempat tersebut. Seperti yang dikatakan Peirce diatas bahwa sifat dapat diamati’ ini memang ada batasnya, tetapi batas ini tidak dapat dirumuskan dengan tepat, maksudnya dalam hal ini kehadiran tiruan alat musik cuk tersebut selain memberikan banyak rumusan yang diinterpretasi oleh banyak orang tapi kemudian juga bisa memberikan efek yang berbagai macam terhadap orang yang melihatnya, khususnya pada pengunjung festival.
Tanda yang dihadirkan dalam bentuk tiruan alat musik tersebut, memang tidak memberikan efek musik musikal kepada seluruh orang yang melihatnya. Winfried Noth melalui Sahid menjelaskan bahwa umumnya tanda bersifat transindividual sehingga dapat dipahami oleh banyak orang. Namun demikian ada juga tanda yang bersifat individual, sehingga tanda baru berfungsi apabila telah diinterpretasi. [5] Lalu kembali dilihat dalam konteks pemikiran Peirce, artinya tiruan alat musik keroncong tersebut menjadi sebuah ikon, dalam konteks ini hubungannya tentu dengan musik keroncong. Tentu saja tiruan alat musik music tersebut tidak memberikan efek musikal, namun kehadirannya memberikan efek simbolik dalam konteks festival musik keroncong yang diselenggarakan.
Zoest mengatakan ada tiga unsur yang menentukan tanda: tanda yang dapat ditangkap itu sendiri, yang ditunjuknya, dan tanda baru dalam benak si penerima tanda. Antara tanda dan yang ditunjuknya terdapat relasi: tanda mempunyai sifat representatif. Tanda dan representatif mengarahkan pada interpretasi, tanda mempunyai sifat interpretatif. Dengan perkataan lain, representatif  dan  interpretatif merupakan ciri khas tanda.[6]

BAB III
KESIMPULAN

Uraian dari Zoest ini cukup menjelaskan bahwa tiruan alat musik cuk yang dihadirkan diruang terbuka pada festival Pasar Keroncong Kotagede merupakan representatif dari festival musik keroncong. Tiruan alat musik itu menjadi ikon bagi festival tersebut, tiruan alat musik itu memberikan efek simbolik musikal pada siapa saja yang melihatnya bahwa di alat musik cuk adalah alat musik yang digunakan dalam kelompok musik keroncong, yang kehadirannya menjadi sangat penting sebagai penentu identitas atas jenis musik keroncong.



Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Semiotika Seni, Dosen Pengampu: Dr. Nur Sahid, M.Hum. Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 2017.
[1] Sahid, Nur. Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang Purwa, dan Film. Gigih Pustaka Mandiri. Semarang. 2016. P.5.
[2] Zoest, Aart Van. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa Yang Kita Lakukan Dengannya. Yayasan Sumber Agung. 1993. P. 10-11.
[3] Aart Van Zoest..., 1993. P. 11.
[4] Sahid, Nur. Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang Purwa, dan Film. Gigih Pustaka Mandiri. Semarang. 2016. P.6.
[5] Ibid. P. 6
[6] Aart Van Zoest..., 1993. P. 15.

ANALISIS SEMIOTIKA PADA KOMPOSISI MUSIK SIMFONI NO. 5 BEETHOVEN

ANALISIS SEMIOTIKA
LIMA BIRAMA AWAL PADA KOMPOSISI MUSIK SIMFONI NO. 5
KARYA LUDWIG VAN BEETHOVEN
Oleh:
Hata Nugraha*

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dalam perkembangannya seni musik tidak selalu membicarakan dan hanya mengedepankan lirik. Ada  makna  dan arti lain yang dibawa dalam sebuah karya seni musik yang tidak membicarakan  dan mengedepanan lirik. Seolah-olah komposer ingin berkomunikasi dan menyampaikan sebuah cerita  melalui karyanya kepaa orang lain. Adalah hal yang menarik untuk meihat semiotika dalam sebuah anilisis musik klasik barat.
Musik klasik adalah sebuah istilah yang sangat luas dan biasanya mengarah kepada musik yang dibuat atau yang berasal usul dari tradisi kesenian barat musik sekuler dan musik orkestra. Hal ini juga mencakup pada periode dari sekitar abad ke-9 hingga ke-21.
Musik klasik dibedakan dari bentuk musik non-Eropa dan musik populer terutama oleh sistem notasi pada musiknya, yang sudah digunakan pada abad ke-16. Notasi musik barat juga digunakan pada komponis untuk memberikan petunjuk kepada pembawa musik mengenai tinggi nada, kecepatan, metrum, ritme individual dan pembawaan yang tepat pada suatu karya musik. Hal ini juga dapat membatasi pada praktik improviasasi, kata ini biasa didengar pada musik non-Eropa dan musik populer.
Sejak abad ke-2 dan abad ke-3 sebelum Masehi, di Tiongkok dan Mesir sudah mempunyai bentuk musik tertentu. Hal ini mendapat pengaruh dari Mesir serta Babilon, dan berkembanglah musik Hibrani yang kemudian berkembang lagi menjadi musik gereja. Musik ini ternyata disenangi oleh masyarakat, karena adanya pemain-pemain musik yang mengembara serta menyanyikan lagu yang digunakan pada saat upacara gereja. Musik klasik kemudian tersebar diseluruh Eropa kemudian tumbuh dan berkembang serta musik intrumental maju dengan pesar setelah adanya perbaikan dari alat-alat musik, contohnya biola dan cello. Kemudian bermunculan para komponis besar di berbagai negara yaitu, Jerman, Prancis, Italia dan Rusia.
Pada abad ke-19, rasa kebangsaan mulai bangun dan berkembang, karena itu perkembangan contoh musik klasik pecah menurut kebangsaannya masing-masing. Walaupun begitu pada permulaannya mempunyai persamaan yaitu bergaya romantik. Salah satu komponis besar pada Zaman Romantik dan Zaman Klasik adalah Ludwig Van Beethoven. Beethoven memiliki banyak karya yang mendunia dan terus diingat sampai sekarang. Beberapa diantaranya adalah Simfoni No. 3, Simfoni No. 5, Simfoni No. 9 dan Fur Ellise. Penulis ingin mencoba sedikit memaparkan kegelisahannya dalam sudut pandang semiotika dengan sebuah analisis terhadap musik instrumental atau komposisi, yaitu analisis terhadap lima birama awal pada komposisi musik Simfoni No. 5 Karya Ludwig Van Beethoven.
B.  Tujuan Penulisan
Pembahasan Analisis Semiotika Lima Birama Awal Komposisi  Musik Simfoni No. 5 Karya Beethoven menjadi daya tarik tersendiri bagi penulis untuk melihat bagaimana sudut pandang semiotika dalam menganalisis karya musik klasik. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk dapat melihat pemaknaan dari Lima Birama Awal dari Komposisi Musik Simfoni No. 5 Karya Ludwig Van Beethoven dalam sudut pandang Semiotika.
C.  Landasan Teori
Dalam  Analisis Semiotika Lima Birama Awal Komposisi Musik Simfoni No. 5 Karya Beethoven penulis  menggunakan pendekatan semiotika konotatif milik Aart Van Zoest (1978). Aliran semiotika konotatif merupakan salah satu dari tiga aliran semiotika yang muncul . Semiotika konotatif merupakan semiotika yang mempelajari masalah-masalah tanda disengaja dan konotasi dapat disebut semiotika konotatif (Zoest, 1993:4).
Aliran semiotika konotatif lebih melihat pada makna konotatif yakni makna kedua atau makna yang tersirat dari sebuah tanda daripada makna/arti langsung dari suatu tanda yang telah disepakati bersama atau telah menjadi pengertian yang sama atau yang biasa disebut denotatif.
Pertanyaan mendasar yang paling sulit, yang akan dihadapi oleh setiap orang yang akan menerapkan perangkat pengertian semiotika pada  musik: apakah  musik memiliki arti? Dengan kkata  lain apakan musik memppunyai denotatun dan diinterpretasikan dalam arti semiotika? (yang dimakksudkan disini ialah diinterpretasikan oleh pendengar).
Ruwet adalah salah satu semiotisi musik yang cerdas dan menarik, yang tahu persis apa yang ia bicarakan, karena ia sendiri merupakan ahli linguistik. Kalau begitu dimanakah semantik musik harus mencari denotata musik yang mungkin ada? Ada beberapa kemungkinan.
Salah satunya adalah untuk menganggap unsur-unsur musik sebagai  ikonis bagi gejala-gejala neurofisiologis pendengar. Dengan demikan, irama musik dapat dihubungkan dengan ritme biologis. Ruwet mengatakan penelitian pragmatig mengenai resepsi musik sudah tentu akan mendapatkan berbagai hasil menarik, karena para penggemar musik sering beranggapan bahwa musik berarti banyak baginya.    
  
BAB II
PEMBAHASAN

Ludwig Van Beethoven (dibaptis pada 17 desember 1770 di bonn, wafat pada 26 maret 1827 di Wina) adalah seorang komponis musik klasik dari Jerman.Karyanya yang paling dikenal adalah simfoni kelima, simfoni kesembilan dan lagu piano Fur Ellise. Ia dipandang sebagai salah satu terbesar dan merupakan tokoh penting dalam masa peralihan antara Zaman Klasik dan Zaman Romantik. Semasa muda ia adalah pianis yang berbakat, populer diantara orang-orang penting dan kaya di Wina, Austria, tempat ia tinggal.
Pada 1787, Beethoven pergi ke Wina atas perintah pangeran Bonn, Franz Xaver Stelker. Disana ia bertemu dengan Mozart dan memainkan piano di depannya. Mozart sangat kagum dengan Beethoven dan dia mengatakan bahwa Beethoven bisa menjadi musikus besar nantinya. Namun pada tahun 1801 ia mulai menjadi tuli. Simfoni No. 2 dan proses pembuatannya dianggap sebagai saksi penting kemelt yang dihadapi Beethoven. Ia membuat karya tersebut saat pendengarannya semakin berkurang.
Simfoni no. 5 Beethoven dianggap sebagai simfoni yag memulai gaya baru. Pada simfoni ini, terdapat tempo dan nada yang seperti mars. Hal ini tidak pernah terjadi pada masa-masa sebelum Beethoven.  Komposisi ini adalah salah satu simfoni paling terkenal karya Beethoven, dan salah satu karya musik klasik yang paling populer.
Simfoni ini dimainkan dalam sukat atau ketukn 2/4 dan meliputi 12 instrumen didalamnya yaitu; Flute, Oboe, Clarinet, Fagot, Corn,  Trombon, Timpani, Violin I, Violin II, Viola, cello, dan Basso. Dimainkan dalam tanda tempo Allegro yang berarti cepat.
Dalam penulisan ini saya tidak secara langsung memaknai karya Beethoven tersebut, melaikan melihat pemaknaan karya Beethoven yang berlangsung sampai abad ke-20, Simfoni no.5 dianggap sebagai “cerita tentang kekalahan  dan kemenangan, tetang pertarungan nasib manusia yanng berlangsung seumur hidup, juga tentang penderitaan dan pembebasan dari kesengsaraan”, yang dituangkan dalam sebuah karya musik.
Dalam hal ini saya sependapat dengan pemaknaan dari karya tersebut. Birama pertama sampai dengan birama ke-5 diwarnai dengan hentakan string section dan dimainkan pada tangga nada minor. Nada minor pada musik identik dengan kesedihan, kekalahan, kelemahan, pertarungan, ketegangan dan kekerasan. Nada minor dan hentakan string section pada lima birama awal  komposisi musik tersebut dapat diartikan sebagai ‘pertarungan yang baru dimulai dan di warnai dengan ketegangan’.
Berikut adalah gambar dari lima birama awal komposisi musik simfoni no. 5 karya Beethoven.

BAB III
KESIMPULAN

Masih banyak hal yang menjadi pertanyaan saya dengan bentuk analisis musik dari sudut pandang semiotika terhadap karya musik instrumental atau klasik barat karena kurangnya pembahasan yang bisa menjadi refrensi saya mengenai pandangan semiotika mengenai analisis semiotika terhadap musik instrumental. Pada penulisan Analisis Semiotika Lima Birama Awal Pada Komposisi Musik Simfoni No. 5 Karya Beethoven ini saya memaknai lima birama awal komposisi musik sebagai ‘pertarungan yang baru dimulai dan di warnai dengan ketegangan’ dan setuju menganggap karya tersebut secara keseluruhan sebagai ‘cerita tentang kekalahan  dan kemenangan, tetang pertarungan nasib manusia yanng berlangsung seumur hidup, juga tentang penderitaan dan pembebasan dari kesengsaraan, yang dituangkan dalam sebuah karya musik’. Dari pemaknaan tersebut saya melihat bahwa pemaknaan musik instrumental tidak terbatas pada denotatum musik.

DAFTAR PUSTAKA

Linardy, Marjory. http://www.dw.com/id/lima-simfoni-karya-beethoven/a-3671411 (diakses pada tanggal 18 Maret 2017, pukul: 22.32 WIB).
McNeill, R. J. 2008. Sejarah Musik 2. Musik 1760 Sampai Dengan Akhir Abad ke-20. PT BPK Gunung Mulia.  Jakarta.
Zoest, Aart van. 1992. Serba-Serbi Semiotika. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Zoest, Aart van. 1993.Semiotika Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Yayasan Sumber Agung. Jakarta.



* Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Semiotika Seni, Dosen Pengampu: Dr. Nur Sahid, M.Hum. Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 2017.

SEMIOTIKA DALAM SENDRATARI RAMAYANA PRAMBANAN

SEMIOTIKA DALAM SENDRATARI RAMAYANA PRAMBANAN
ADEGAN JATAYU SANG PEMBAWA KABAR

Oleh:
 Kawuryansih Widowati dan Ditta Novita Astuti Kusumo*

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Berbicara mengenai sejarah berdirinya Sendratari Ramayana Ballet Prambanan tentu tidak akan pernah terlepas dari peran Djatikusumo yang merupakan penggagas utama dari pertunjukan Sendratari Ramayana. Djatikusumo yang pada tahun 1960 menjabat sebagai pimpinan Departemen Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata (PDPTP) mendapat tugas untuk meninjau berbagai proyek wisata di beberapa negara. Pada saat menyaksikan Ballet Royal du Camboja di Candi Angkor Watt Kamboja, timbullah gagasan Djatikusumo untuk menciptakan proyek pementasan tari khusus seperti tarian ballet di Ankor Watt. Melalui perenungan berulang kali yang dilakukan di Candi Prambanan, Djatikusumo kemudian memutuskan untuk menghidupkan kembali epos Ramayana seperti yang terukir di candi tersebut ke dalam bentuk drama tari, tanpa dialog dan narasi yang kala itu diistilahkan sebagai ”ballet”. [1]
Sejak tahun 1961 sampai saat ini, Sendratari Ramayana Prambanan telah mengalami banyak perubahan dan perkembangan. Perubahan dan perkembangan tersebut dapat dilihat dari segi manajemen pengelolaan, panggung, pembagian lakon, jumlah grup pengisi pentas, jadwal pementasan, dan lain-lain. Sehingga, istilah bahwa pertunjukan Sendratari Ramayana Prambanan hanya dipentaskan pada saat bulan purnama di panggung terbuka sudah tidak berlaku lagi saat ini.
Sajian bentuk pertunjukan Sendratari Ramayana Prambanan berbeda-beda dalam setiap pementasannya. Hal ini tergantung dari masing-masing grup yang menjadi pelaku seni dalam pertunjukan tersebut. Masing-masing dari grup pengisi pentas diberi kesempatan untuk mengolah serta mengembangkan sajian bentuk pertunjukan sesuai dengan kreativitas mereka sendiri, entah dalam hal penggarapan gendhing ataupun dalam hal penggarapan gerak.  Namun, yang perlu mereka ingat ketika berkreasi adalah cerita yang dibawakan haruslah cerita Ramayana dan konsep garapan pertunjukannya yang berbau tradisi Jawa khususnya Surakarta ataupun Yogyakarta.
Grup Kasanggit merupakan salah satu grup pengisi pentas Sendratari Ramayana Prambanan yang sudah cukup lama ikut bergabung. Grup ini menyajikan bentuk pertunjukan yang lebih didominasi oleh gaya Surakarta. Para pengrawit ataupun penari yang tergabung dalam grup ini berasal dari masyarakat sekitar di wilayah Prambanan dan Yogyakarta. Biasanya dalam satu bulan sekali masing-masing grup pengisi pentas diberi kesempatan untuk mengisi sekitar 2 sampai 4 kali. Tetapi bisa juga lebih dari itu, tergantung dari jadwal yang sudah ditetapkan oleh Unit Teater dan Pentas PT Taman Wisata Candi Borobudur Prambanan dan Ratu Boko selaku pengelola dari pertunjukan tersebut.
Pertunjukan Sendratari Ramayana Prambanan yang disajikan oleh Grup Kasanggit memiliki elemen-elemen yang terdapat dalam sajian pertunjukannya. Elemen-elemen yang muncul dalam pertunjukan ini akan nampak berbeda apabila panggung yang digunakan dalam pementasan tersebut berbeda pula. Dalam hal ini penulis telah melakukan pengamatan secara langsung pada pertunjukan Sendratari Ramayana Prambanan yang disajikan oleh Grup Kasanggit. Pertunjukan tersebut diselenggarakan di panggung tertutup Ramayana Prambanan. Terkait dengan alasan diselenggarakannya pementasan di panggung tertutup adalah karena pada bulan November-April merupakan musim penghujan sehingga tidak memungkinkan apabila diselenggarakan di panggung terbuka.
Dalam makalah ini, penulis tidaklah sepenuhnya menganalisis tentang elemen-elemen yang terdapat dalam pertunjukan Sendratari Ramayana Prambanan secara penuh. Penuh yang dimaksud adalah keseluruhan pementasan dari awal sampai akhir. Penulis hanya mengambil pada adegan Jatayu. Alasannya adalah adegan Jatayu dianggap menjadi salah satu elemen penting dari sajian pertunjukan Sendratari Ramayana Prambanan. Dalam cerita Ramayana, Jatayu merupakan salah satu tokoh yang memberitahu Rama mengenai sosok yang menjadi dalang dari penculikan Dewi Sinta. Selain itu dalam adegan ini juga memiliki banyak varian gerak dan permainan lighting yang memiliki makna berbeda-beda tergantung dari konteks cerita dari setiap adegannya.
B.     Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan dan menganalisis mengenai elemen-elemen tanda yang terdapat dalam pertunjukan Sendratari Ramayana Prambanan di panggung tertutup yang difokuskan pada adegan Jatayu.

C.     Pendekatan Teori
Pendekatan semiotika digunakan oleh penulis dalam menganalisis elemen-elemen yang terdapat dalam pertunjukan Sendratari Ramayana Prambanan dalam adegan Jatayu. Penganalisisan ini menggunakan teori teater dari Kowzan. Kowzan mengatakan bahwa prinsip kerja semiotika teater berangkat dari unit-unit signifikansi yang terdapat dalam tontonan teater itu sendiri. Kowzan juga menyebutkan bahwa terdapat 13 macam sistem tanda dalam pertunjukan teater. Ketiga belas tanda tersebut adalah : 1) kata; 2) nada; 3) mime; 4) gesture; 5) gerak; 6) make-up; 7) hair style; 8) kostum; 9) properti; 10) setting; 11) lighting; 12) music; 13) sound effects. Lebih lanjut lagi Kowzan mengatakan bahwa segmentasi pada kelompok 1-8 merupakan segmentasi yang berhubungan langsung dengan aktor, sedangkan kelompok 9-13 berada di luar aktor. [2]
Meskipun dalam hal ini yang dikaji adalah seni pertunjukan yang berbentuk sendratari, namun penggunaan teori teater dari Kowzan tersebut dapat digunakan untuk menganalisis sistem tanda yang terdapat dalam pertunjukan Sendratari Ramayana Prambanan. Pada dasarnya teater dan tari hampir memiliki struktur yang sama. Letak perbedaannya adalah pada sistem tanda kata. Dalam hal ini segmentasi dari teori teater Kowzan yang digunakan untuk menganalisis elemen-elemen tanda pada Sendratari Ramayana Prambanan dimulai dari segmen nomor 2 sampai 12.


BAB II
PEMBAHASAN

Pembahasan mengenai elemen-elemen yang terdapat dalam sajian pertunjukan Sendratari Ramayana Prambanan disajikan dalam bentuk tabel beserta penjelasannya di bagian bawah tabel. Tahap pembagian adegan Jatayu kemudian diuraikan menjadi empat tabel, dan dianalisis menggunakan teori dari Tedeuz Kowzan yang berkaitan dengan sistem, tanda dan makna yang terkandung pada elemen-elemen tersebut. Tetapi sebelumnya perlu diketahui bahwa dari semua rangkaian adegan, tidak ada para penari yang berganti kostum, make-up, ataupun hair style. Sehingga penjelasan mengenai ketiga elemen tersebut tertuang dalam tabel bagian pertama dan untuk bagian tabel kedua sampai keempat hanya dijelaskan untuk karakter tokoh yang berbeda. Uraian tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
Tabel 1
Penerapan Sistem Tanda Kowzan dalam Adegan Jatayu Terbang
Tokoh : Jatayu
No
Sistem
Tanda
Makna
1
Mimik
Dagu menengadah dan melebarkan mata
Kehebatan Jatayu
2
Gesture
Kedua lengan diangkat ke atas menyudut ke samping kanan dan kiri serta kaki diangkat satu dengan bentuk menyiku ke arah depan
Kegagahan seorang raja burung
3
Gerak
Loncat di tempat
Srisig ke segala penjuru arah

Onclang menyudut ke samping kiri kemudian ke trecet ke belakang
Aksi berputar dari depan menuju ke belakang
Kelincahan
Mengawasi situasi dan kondisi di langit
Memperlihatkan kegesitan


Ketangkasan dan kekuatan
4
Make-up
Make-up karakter Jatayu (model mata sipatan)
Mata yang tajam
5
Hair style
Udalan (rambut pasangan berbahan dasar wol warna hitam dengan panjang sebahu)
Menunjukkan tokoh ksatria yang gagah
6
Kostum
Irah-irahan Jatayu, udalan, cucuk manuk, kace, epek timang, sabuk, uncal, kathok panji Jatayu, rampek, binggel taji, kotang Jatayu, swiwi Jatayu.
Raja burung
7
Properti
Sayap
Menambah Aksen Gerak
8
Lighting
Lampu warna biru dan lampu yang di-filter menggunakan motif awan
Suasana di langit
9
Musik
Lancaran Jatayu Pelog Barang (racik)
Lancaran Jatayu Pelog Barang(lamba)
Suasana bahagia dan jiwa semangat
Menekan emosi jiwa yang bersemangat menjadi lebih menonjolkan suasana yang agung

Analisis tabel pertama digunakan delapan sistem tanda yang diuraikan sesuai dengan penyajian Jatayu pada saat terbang. Sistem penanda itu diantaranya, mimik, gesture, gerak, make-up, hair style, kostum, properti, lighting, dan musik. Pada sistem tersebut memiliki satu kesatuan struktur penyanjian yang tidak dapat dipisahkan dalam menggambarkan Jatayu yang sedang terbang untuk mengintai keadaan di langit. Tentu saja dalam menganalisis pemaknaan ini digunakan pembacaaan oleh cara pandang Roland Bathes, first orders of signification dan second orders of signification. Dalam adegan pertama dalam analisis ini menggunakan tahap first orders signification, dijabarkan dalam pertunjukan tersebut terlihat jelas pada mimik, gerak, dan gesture yang melekat pada penari yang memerankan tokoh Jatayu. Ketiganya merupakan sistem tanda nada atau paralinguistik yang termasuk sistem tanda yang paling dekat dengan sistem tanda bahasa dan sistem tanda kinetik.[3] Sistem kinetik ini merupakan sebuah tanda yang terlihat dari Jatayu pada saat bergerak onclang kedepan dan kesamping, kemudian terbang kedepan dan kebelakang dengan ditandai dengan gerak trecet yang dapat menggambarkan kelincahan dan kegagahan. Didukung dengan ekspresi mimik dengan melebarkan mata dan menegadahkan wajah dan gesture kedua tangan diangkat keatas, yang terlihat menonjol pada telapak tangan yang ditekuk, menambah aksen gagah serta sikap kaki kanan dan kiri yang ditekuk siku-siku secara bergantian. Patrice Pavis mengungkapkan tentang fungsi gesture situasi ucapan, untuk menjadi deiksis dan merupakan suatu tanda yang mengindikasikan presensi panggung dan presensi aktor, yakni sebagaimana gesture tak dapat dipisahkan dengan aktor yang membuatnya, sehingga ia selalu disesuaikan dengan panggung melalui deiksis-deiksis badani yang tak terhitung yang dimulai dengan sikap, padangan sekilas atau presensi pisik semata (Elam,1981: 72-73)[4]
Gambar 1. Sikap Jatayu ketika  jojor (sikap kaki lurus sebagai proses untuk menjadi siku)
Gambar di atas  menunjukan beberapa sistem tanda yang merupakan pendukung dari karakter Jatayu. Sistem tanda tersebut ialah sistem tanda make-up, sistem tanda gaya rambut, sistem tanda kostum, dan sistem tanda properti. Sistem tanda make-up bagi Lichte (1991:69) makna yang diproduksi dengan sitem tanda make-up atau topeng hanya menunjuk makna-makna yang diagnosis.[5]  Make-up Jatayu mengunakan riasan sipatan ( garis hitam yang ditarik, dari kedua daerah kelopak mata dan bawah mata, yang ditarik dari ujung mata bagian dalam menuju pelipis mata) sehingga membuat karakter mata yang tajam, dan hanya dirias setengah wajah dari dahi hingga bawah hidung. Pada bagian bawah hidung hingga dagu digunakan tutuk Jatayu atau paruh Jatayu. Kemudian tata rambut yang digunakan adalah udalan atau rambut palsu yang bewarna hitam yang bentuknya melebar dan rata namun pendek. Merupakan simbol kegagahan pada struktur bagian tubuh Jatayu yang juga ditandai dengan warna hitam yang dapat diartikan bahwa umur Jatayu digolongkan muda. Selain itu, tanda kostum menjadi hal identifikasi awal bahwa Jatayu merupakan seekor burung, hal tersebut dapat dilihat pada gambar pertama terdapat jelas, pada kostumnya terdapat aksen emas, yang membentuk pola sisik, baik pada sayapnya, kotang Jatayu, celana panji, serta irah-irahan Jatayu yang khas bahwa simbol itu merupakan simbol mahkota raja, dalam hal ini Jatayu sebagai raja burung. Begitu juga kaki Jatayu yang diberi binggel taji (gelang kaki dengan hiasan taji). Pada kostum sayap ini bisa digunakan sebagai properti untuk penggambaran terbang dan aksen gerak.
  Hubungan antara penari Jatayu dan sistem hal yang dijelaskan diatas tersebut tentu saja diperkuat dengan bentuk ruang yang menjadi arena pentas, yang mengambarkan keadaan di langit. Hal tersebut telihat dari sebuah bentuk stage di Gedung Trimurti, Prambanan, yang membentuk tapal kuda yang tiga perempatnya sebagai arena penyajian. Pada saat penari Jatayu terbang, ia berusaha menguasai panggung dari segala penjuru arah,seolah-olah menggambarkan burung yang terbang meruang secara penuh.  Pada saat itu diperkuat dengan lighting yang didominasi dengan warna biru, dan digunakan filter awan, yang menimbulkan efek seperti benar keadaan di langit, yang telah di-setting bergerak seperti hal yang nyata dilangit. Lighting sangat berguna untuk memperkuat dan mengangkat dramatik pada saat suatu adegan tertentu sehingga dapat melahirkan makna-makna yang membedakan fungsi.
Hal lain yang memperkuat dramatik dari adegan Jatayu pada saat terbang ialah iringan tari. Makna musik dalam teater setidaknya harus mencakup empat aspek berikut : 1) Makna -makna musik yang bertalian dengan ruang dan gerak, 2) Makna-makna yang bertalian dengan objek-objek dan aksi-aksi dalam ruang, 3) Makna-makna yang bertalian dengan karakter, suasana hati dan kondisi, dan emosi, 4) Makna-makna bertalian dengan sebuah ide.[6] Pada Jatayu terbang dalam memantau keadaan dilangit dipergunakan struktur gendhing Lancaran Jatayu Pelog Barang (racik). Pada struktur gendhing tersebut terdapat satu kali delapan hitungan terdapat dalam satu gongan. Lancaran Jatayu ini digunakan tempo racik (cepat), hal tersebut melahirkan makna  yang ceria, semangat, dan juga kelincahan, hal tersebut koheren dengan gerak , mimik, dan gesture Jatayu sebagai gambaran burung. Makna ide ini ditumpahakan pada iringan tari yang disesuaikan terhadap tokoh siapa yang sedang tampil sesuai dengan karakternya. Maka penata iringan dalam memberikan gambaran tentang ekspresi musik yang sesuai Jatayu, juga mempengaruhi nama judul gendhingnya.
Semua uraian yang telah dijelaskan pada adegan pertama merupakan hal-hal yang bermakna denotasi, yang berarti bahwa makna tersebut muncul secara langsung dari tanda yang ada dalam pertunjukan itu sendiri, dan terdapat kesepakatan makna dalam sistem pemaknaannya. Perlu diketahui pula bahwa dalam sistem pemaknaan tidak hanya makna denotasi saja yang perlu dijelaskan, tetapi terdapat pula makna konotasi yang terselubung dalam seni pertunjukan.
Makna konotasi merupakan makna-makna yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial, moral, dan ideologis dalam suatu komunitas atau penonton.[7] Pada adegan Jatayu Terbang diceritakan bahwa Jatayu sedang terbang di angkasa, dengan didukung kostum serta lighting hal tersebut lebih memperjelas bahwa Jatayu memang sedang terbang di angkasa. Makna konotasi yang terdapat dalam adegan ini adalah bahwa sama seperti manusia, di dunia ini para binatang memiliki kebebasan serta kesempatan untuk menikmati hidup dan semua itu mereka wujudkan dengan caranya masing-masing. Untuk itu hendaknya sebagai makhluk yang memiliki akal, manusia hendaknya turut serta dalam menjaga kehidupan para binatang, agar kehidupan yang ada dalam alam ini berjalan seimbang.

Tabel 2
Penerapan Sistem Tanda Kowzan dalam Adegan Rahwana Membawa Sinta Menuju ke Alengka
Tokoh : Rahwana, Sinta, Jatayu

No
Sistem
Tanda
Makna
1
Mimik
Rahwana: Senyum sinis dengan mata yang berbinar
Bahagia berhasil mendapatkan Sinta


Sinta: Mengernyitkan dahi dan memalingkan muka dari wajah Rahwana
Bersedih dan tidak berkenan bila dibawa Rahwana ke Alengka


Jatayu: Membesarkan mata
Melihat ada sesuatu yang ganjil
2
Gesture
Rahwana:
Tangan kanan ditekuk di samping kanan dada, sedangkan tangan kiri membawa sampur Sinta dengan posisi lurus ke samping kiri.
Tangan kanan ditekuk di samping kanan dada, sedangkan tangan kiri memegang pinggang Sinta.

Terbang membawa Sinta




Menjaga Sinta agar tidak lepas dari genggaman Rahwana
Sinta:
Tangan kiri ditekuk siku diarahkan ke samping kanan wajah sedangkan kanan memegang pangkal sampur di depan pusar.
Tangan kiri ditekuk siku diarahkan ke samping kanan wajah sedangkan kanan memegang ujung sampur di depan pusar.

Enggan dibawa Rahwana




Menolak dirayu, didekati, dan disentuh oleh Rahwana
Jatayu : Menelangkupkan kedua tangan di depan pusar
Istirahat dari aktivitasnya memantau keadaan langit
3
Gerak
Rahwana:
Srisig ke segala arah dengan sikap kambeng
Kambeng kanan, junjung kanan, nampani Sinta dan kambeng kiri, junjung kiri, nampani Sinta

Terbang

Memandang Sinta
Sinta:
Srisig sesuai dengan arah Rahwana, tangan kiri tawing kanan dan tangan kanan ngithing trap cethik.

Menolak namun tidak berdaya
Jatayu: tanjak
Sedang berdiam
4
Make-up
Rahwana: alis gagah, warna dasar muka merah, warna putih di dahi, pelipis mata dan hidung, warna hitam dari lubang air mata menuju tulang pipi, siung di pojok kedua bibir bagian bawah, kumis (Make-up karakter raja raksasa)
Jahat, kejam, bengis
Sinta: alis luruh, eyeshadow warna gelap, godheg luruh, urna, bibir warna merah, blush on pink (make-up karakter putri luruh)
Putri luruh yang halus
Make-up karakter Jatayu sudah tertera dalam tabel pertama.
5
Hair style
Rahwana:
Gimbalan sepunggung (rambut pasangan berbahan dasar wol warna hitam dengan panjang sepunggung)
Sinta:
Uren panjang (rambut panjang sepantat)
Jatayu:
Hair style karakter Jatayu sudah tertera dalam tabel pertama.

Menunjukkan tokoh raja besar




Menunjukkan seorang putri yang anggun



6
Kostum
Rahwana : Irah-irahan makutho warna merah, sumping oncen manik, udalan, kelat bahu, kace, simbar dada, slempang, boro samir, uncal, jarik parang latar pethak, sabuk cindhe warna merah, celana cindhe warna merah, epek timang, gelang binggel, gelang kain, sampur gendhala giri warna kuning
Pakaian raja yang gagah dan memiliki tingkat kelas yang tinggi dengan dominasi warna merah yang diartikan sebagai raja yang jahat


Sinta: irah-irahan putri luruh, mekak beludru hitam, kalung panunggalsampur gombyok warna orange, sabuk, jarik parang curiga, sumping, subang.
Pakaian untuk putri luruh 
Kostum untuk karakter Jatayu sudah tertera dalam tabel pertama.
7
Properti
Rahwana : sampur gendhala giri kuning
Menggambarkan kegagahan saat terbang
Sinta: sampur gombyok warna orange
Menggambarkan Sinta dibawa terbang oleh Rahwana
Jatayu : Sayap
Menambah Aksen Gerak
8
Lighting
Lampu warna biru dan lampu yang difilter gambar awan
Suasana di langit
9
Musik
Vokal Tunggal Sekar Rujid yang dinyanyikan oleh sindhen dengan diiringi kethuk dan gender.
Sereng (mencekam)

Adegan kedua ialah gambaran bertemunya Jatayu dan Rahwana beserta Sinta yang dibawa terbang ke langit. Pada uraian diatas hubungan paling terlihat ialah ketiga tokoh yang masing-masing identitas karakternya berbeda. Hal tersebut terlihat pada kostum yang menjadi simbol kebaikan dan kejahatan didalam Sendratari Ramayana Prambanan. Dalam tahap analisis yang kedua ini, digunakan second orders of signification, yang merupakan sebuah konsep yang mental lain yang menandai dari yang menandai dari gesture, dan mimik , untuk menjadi lebih jelas. Contoh dalam analisis ini ialah warna kostum merah di dalam wayang Wong dan Sendratari Ramayana ini menajadi suatu konvensi dari pelaku budaya atau pewaris aktif. Kostum warna merah dapat dinyatakan langsung sebagai warna pihak yang jahat, penuh angkara murka, walaupun tidak selamanya tokoh yang menggunakan warna merah adalah berkarakter jahat, contoh : Gunawan Wibisana  Bathara Brahm, dan Srikandi. Sedangkan pada kostum pada karakter yang baik diidentikkan dengan warna hitam, ungu tua, biru tua, dan hijau. Kecuali pada karakter binatang, mereka akan disesuaikan dengan selera dari pada penata kostum atau sutradara dalam pementasannya atau dari sebuah konvensi dunia tari dan pedalangan. Hal lain didukung dengan sitem tanda make-up, pada karakter tokoh Rahwana yang didominasi warna merah pada wajah dan sapuan warna putih pada daerah pelipis mata dan siungnya yang menunjukan keras, menyeramkan, dan berkarakter jahat yang bergolongan karakter raksaksa. Begitu juga dengan rambut Rahwana seperti yang digunakan oleh Jatayu, menggunakan udalan dengan ukuran lebih panjang dan tebal dan menggunakan irah-irahan tropong atau makuta dibalut warna merah, yang menunjukan kegagahan seorang Raja dari Alengka. Pada tata rias tokoh Sinta digunakan rias putri oyi atau luruh, dan kostum sebagai identitas Sinta bewarna hitam. Pada hiasan kepalanya menggunakan irah-irahan Sinta, yang ditandai dengan warna hitam di bagian thotok-nya. Tata rambut yang dipergunakan oleh Sinta menggunakan oren (rambut panjang warna hitam yang menjuntai panjang ) yang dapat diasumsikan sebagai seorang yang anggun, kalem, dan feminin. Pada aspek visual sistem tanda make-up, konstum, dan rambut tentu saja dapat mengidentifikasi karakter jahat dan baik diantara Rahwana dan Sinta. Pada tahap analisis ini sampur Rahwana dan Sinta dapat digunakan sebagai properti, sebagai nilai estetik dalam menambah aksen gerak dan mengungkapkan makna-makna pada suatu kondisi adegan tertentu. Contoh sampur yang digunakan oleh Sinta dipegang erat oleh Rahwana, sebagai simbol untuk mencencang sinta agar dalam perjalannya ke Alengka, tidak lepas dari genggamannya. Rahwana yang pada saat terbang membawa Sinta disimbolkan dalam gerak srisig, hal sama juga dilakukan Sinta. Pada sampur yang digunakan Rahwana sedikit digerakan, untuk memberi kesan getar, yang dapat diartikan sebagai gambaran terkena angin ketika terbang. Ekspresi mimik dan gesture Rahwana terdapat kesan bahagia ketika berhasil menculik Sinta dari Rama. Bentuk senyum sinis dan gesture dengan sikap kambeng memperkuat karakter dari bahagianya Rahwana membawa Sinta. Berbanding terbalik dengan Sinta mimik dan gesturenya terdapat kesedihan, terlihat ia mengernyitkan dahi, dan wajah murungnya ketika dibawa terbannga Rahwana.
Ruang panggung menjadi aspek penting dalam sebuah pertunjukan. Ruang tersebut, dalam hal ini menjadi wadah untuk menuangkan tokoh-tokoh dalam suatu bentuk pergelaran sendratari. Menurut Lichte ruang panggung dapat diimplikasikan fungsi praktis maupu simbolik. Hal tersebut yang pertama direfleksikan pada aksi penari Jatayu pada yang disampaikan ditabel pertama, kemudian yang kedua ketika Jatayu sedang beristirahat sejenak dari aktivitasnya tiba-tiba melihat Rahwana sedang terbang membawa Sinta. Mengetahui hal tersebut, Jatayu menghampiri mereka, dan merebut Sinta dari genggaman Rahwana maka ketiga tokoh tersebut bertemu dalam suatu ruang panggung yang sama sehingga dalam ceritanya terjadi konflik yang tegang. Konflik yang tegang itu diringi dengan suara kendhangan yang dipukul dengan keras atau sampak, yang bermula pada suatu iringan yang lambat (antal)sebelumnya ketika Jatayu sedang beristirahat. Adegan yang tegang tersebut mempengaruhi kecepatan musik pengiringnya untuk memperkuat cerita yang sedang berlangasung. Ketegangan itu diwarnai dengan terjadinya peperangan diantara Rahwana dan Jatayu. Terdapat pula hal lain yang terdapat dalam adegan tersebut, terlihat dari perubahan warna lampu yang kemudian diberi aksen warna merah yang dipadukan dengan lampu warna biru. Warna merah pada adegan tersebut dapat menambah penggambaran konflik dalam situasi yang mencengangkan.
Makna konotasi yang terdapat pada adegan Rahwana terbang membawa Sinta ini adalah bahwa makna ini berkaitan dengan nilai-nilai moral dalam kehidupan. Mencuri bukanlah suatu tindakan yang terpuji. Mencuri tidak hanya bisa mencelakai diri orang lain tetapi juga mencelakai diri sendiri. Sangsi yang diberikan dari tindakan mencuri itu pun bukan hanya berupa sangsi hukuman dari masyarakat, semuanya bisa menjalar ke dalam sangsi yang berupa hukum negara atau sangsi agama yang mana semuanya saling berkaitan satu sama lain.



Tabel 3
Penerapan Sistem Tanda Kowzan dalam Adegan Jatayu Berperang Melawan Rahwana
Tokoh : Rahwana, Sinta, dan  Jatayu

No
Sistem
Tanda
Makna
1
Mimik
Rahwana: Mata melotot, wajah tegang
Marah atau murka
Sinta: Mengernyitkan dahi dan sedikit membesarkan mata
Kaget dan khawatir
Jatayu: Membesarkan mata, wajah tegang
Heran dan marah
2
Gesture
Rahwana:
Kedua tangan membuka lebar kesamping dan diletakan dipinggang
Sikap tancep dan sikap kedua tangan yang dibuka lebar sejajar dengan bahu, dan tangan kiri di tekut menyiku.
Loncatan kaki secara berulang

Kesal terhadap Jatayu


Murka ingin menyerang Jatayu

Menghindar, menyerang , menangkis
Sinta :
Gerak tangan didominasi dengan mengunakan sampur, yang selalu menutupi mukanya

Sedih, khawatir, mengangis, dan gelisah
Jatayu :
Kedua tangan dibuka lebar dan telapak tangan menekuk mengahadap sudut
Kedua tangan dibuka lebar buka tutup, mengangkat satu kaki secara berulang dan bergantian
Tangan kanan menutup

Tangan kiri menutup

Marah, kesal, dan sesegera menyerang Rahwana

Menyerang Rahwana mengibaskan sayapnya, dan memukul kepala Rahwana
Sayap kanan terpenggal oleh pedang Rahwana
Sayap kiri juga terpenggal oleh pedang Rahwana
3
Gerak
Rahwana:
Ulap-ulap

Onclang ke arah Jatayu
Mbabit pedhang

Melihat Jatayu yang telah merebut membawa Sinta
Menghampiri Jatayu
Memotong sayap dan mencoba membunuh Jatayu


Sinta:
Tawing kanan gejug kiri, tawing kiri gejugkanan

Kesedihan, dan kegelisahan
Jatayu:
Onclang, kabruk

Melawan Rahwana
(4)Make-up, (5) Hair style , dan (6) Kostum yang digunakan oleh penari tidak mengalami perubahan. Semuanya sudah dijelaskan dalam tabel kedua.
7
Properti
Rahwana :
Sampur gendhala giri kuning
Pedang

Menggoda Sinta dan Terbang
Untuk menyerang dan membunuh Jatayu
Sinta:
Sampur gombyok warna orange


Menolak untuk dibawa Rahwana ke Alengka
Untuk memukul wajah Rahwana
Mengusap air mata
Jatayu :
Cucuk Manuk dan Sayap

Senjata untuk melawan Rahwana dengan cara menggigit dan memukul menggunakan sayap
8
Lighting
Lampu general dan merah
Suasana peperangan
9
Musik
Sampak  Jatayu Nlambung Pelog Barang dilanjutkan srepeg


Sampak (Jatayu dan Hunusan Pedang)
Keberanian Jatayu merebut Sinta dilanjutkan peperangan Jatayu melawan Rahwana
Jatayu terkena sabetan dibagian sayap disusul hunusan pedang perut
10
Nada
Suara Rahwana
“oouughhh...highsss”
“Ooughh... hissss”

“yecghhh...”
“Howahhh...”
“Hwaaahhhh....Hweeehhhwisss....”
“Hwosssss....”
“Hwesssss....”

(Semua dilakukan dengan nada tinggi)

Marah, dan kesal
Tak menyangka berhasil memenggal sayap Jatayu bagian kanan
Berhasil memenggal sayap kiri
Menusuk leher Jatayu
Mukul wajah Jatayu
Menendang wajah Jatayu
Menendang Wajah Jatayu sebelum perrgi, mencampakan

Tabel ketiga menunjukan situasi yang tegang, antara Jatayu dan Rahwana. Situasi ini dimulai pada saat Jatayu menubruk Rahwana saat terbang membawa Sinta, dan kemudian Rahwana terguling. Tahap tersebut dialisis kembali dalam suatu first orders of signification, yang dimana adegan tersebut mengandung banyak unsur makna denotasi. Pada saat terguling Rahwana sontak mengeluarkan ekspresi suara “oouughhh...highsss”. Dalam pertunjukan sendratari Ramaya Ballet ini tidak menggunakan bahasa dalam praktek lingusitik, tetapi terdapat beberapa faktor pola titinada (pitch), kenyaringan (loudness), tempo dan warna nada merupakan karakteristik karakteristik paralinguistik atau suprasegmental berkaitan dengan vokal seorang pembicara (Elam,1991 :79).  Hal yang dikemukakan Elam tentu saja memberikan informasi penting tentang keadaan, intensi, dan sikap pembicara.[8] Rahwana pada adegan ini banyak mengeluarkan vokal-vokal yang memperlihatkan makna-makna tertentu saat adaegan perang dengan Jatayu.  Vokal - vokal tersebut dijabarkan oleh George L. Tanger yang menyebutkan bahwa vocalizations (vokalisasi-vokalisasi)  membaginya menjadi tiga hal yakni vocal characterizer ( vokal karakteristik), vocal qualifiers (sifat-sifat vokal), dan vocal segregates (bunyi vokal terpisah-pisah).[9]Vokal karakteristik yang terlontar dari Rahwana ialah berteriak yang menggambarkan suara raksaksa dalam suatu tindakan-tindakan perang yang ditujukankepada Jatayu, dengan sifat oval dengan tingkat intensitas keras dan titi nada tinggi. Pada bunyi vokal yang terpisah-pisah terlihat dalam “Hwaaahhhh....Hweeehhhwisss....” yang memukul wajah Jatayu sebanyak dua kali. Gesture dan mimik lebih tegang dari bada adegan kedua. Gerakan Rahwana dan Jatayu yang saling menyerang menggunakan gerak tubrukan dengan properti pedang yang digunakan untuk menebas sayap dan menusuk Jatayu. Sedangkan Sinta melakukan gerak tawing kanan, dan kiri, kemudian mengambil sampurnya sebagai alat untuk mengusap air mata kesedihan dan kekhawatiran Jatayu. Iringan tari yang digunakan untuk mengiringi adegan ini Sampak  Jatayu Nlambung Pelog Barang dilanjutkan srepeg, kemudian sampakyang digambarkan akhir dari peperangan ketika Rahwana menghunuskan pedang. Ritme pada gendhing yang mengiringi cepat, dan membangkitkan suasana perang. Begitu juga dengan permainan lampu yang menunjukan iklim konflik yang mencengkam, antara perpaduan warna merah dan general.
Makna konotasi yang terdapat dalam adegan ini adalah adanya makna-makna yang juga mengandung pesan-pesan moral. Tidak semua kubu baik menang terlebih dahulu di awal, mereka bisa saja kalah diawal. Tetapi sesungguhnya kekalahan yang dialami orang baik jauh lebih bermartabat daripada kemenangan orang jahat. Orang baik akan tetap dikenang mesti sudah mati sekalipun dan memiliki posisi yang lebih tinggi daripada orang jahat. Yakinlah bahwa orang jahat suatu saat nanti juga akan mengalami kekalahan.

Tabel 4
Penerapan Sistem Tanda Kowzan dalam Adegan Jatayu Mati
Tokoh : Jatayu, Lesmana, dan Rama

No
Sistem
Tanda
Makna
1
Mimik
Rama :
Melebarkan matanya dan  mengerutkan alis

Kaget, marah, mengira Jatayu membawa kabur menculik Sinta
Lesmana :
Membesarkan mata, menngernyitkan sedikit alisnya, otot bibir tertarik ke dalam

Kaget, heran, sedih,

Jatayu :
Mengecilkan mata, sehingga terlihat sipit dan mengerutkan otot-otot wajah.

Tanda kesakitan , ketidakberdayaan , dan  dalam keadaan kritis
2
Gesture
Rama :
Memegang tangan Jatayu, dan berdiri dengan sikap  tanjak


Jengkeng dengan menyampirkan sampur kiri kearah dada sebelah kanan.

Membantu Jatayu bangun untuk menunjukan arah dimana Rahwana membawa Sinta pergi
Mendoakan Jatayu


Lesmana :
Sikap berdiri dengan kaki kanan yang mancat dan membentanggkan tangan dalam sikap ngeruji ke arah Rama
Memegang tangan Jatayu, dan berdiri dengan sikap  tanjak


Jengkeng dengan menyampirkan sampur kiri kearah dada sebelah kanan.

Memberi tahu agar Rama tidak membunuh Jatayu


Membantu Jatayu bangun untuk menunjukan arah dimana Rahwana membawa Sinta pergi
Mendoakan Jatayu
Jatayu :
Berguling-guling


Memberikan sayap kepada Rama dan Lesmana,kemudian tangan kanan membentang lurus ke arah kanan penari

Tanda kesakitan , ketidakberdayaan , dan  dalam keadaan kritis
Memberikan informasi tentang arah Rahwana membawa Sinta pergi.
3
Gerak
Rama:
Tangan kanan ngithing memegang sayap Jatayu dengan posisi jengkeng

Srisig menuju arah belakang
Sampir sampur

Membiarkan Jatayu membiarkan sesuatu hal yang ingin disampaikan kepadanya
Berjalan menuju ke arah belakang
Berduka
Jengkeng membawa gendewa milik Rama
Srisig menuju arah belakang

Sampir sampur
Hormat kepada Rama

Berjalan menuju ke arah belakang
Berduka


Jatayu: Mengarahkan tangan ke pojok kanan depan
Memberitahu bahwa Sinta telah diculik Rahwana
4
Make-up
Rama: Alis gagah, eyeshadow gelap, godheg, urna, blush on, bibir warna merah
Ksatria yang gagah berani
Lesmana: Alis gagah, eyeshadow gelap, godheg, urna, blush on, bibir warna merah
Ksatria yang gagah berani
Make-up untuk karakter Jatayu sudah dijelaskan dalam tabel pertama.
5
Hair style
Rama:
Rambut pendek tanpa udalan


Lesmana:
Rambut pendek tanpa udalan


Hair style untuk karakter Jatayu sudah dijelaskan dalam tabel pertama.

Menandai bahwa yang bersangkutan tergolong ksatria muda

Menandai bahwa yang bersangkutan tergolong ksatria muda


6
Kostum
Rama: Irah-irahan gelung, jarik parang curiga berlatar coklat, sampur warna orange, uncal, epek timang, sabuk, bara samir, slempang, sumping, kelat bahu, binggel, endhong panah.
Pakaian ksatria berhati baik


Lesmana: Irah-irahan gelung, jarik parang curiga berlatar coklat, sampur warna orange, uncal, epek timang, sabuk, bara samir, slempang, sumping, kelat bahu, binggel, endhong panah.
Pakaian ksatria berhati baik
Kostum untuk Jatayu sudah dijelaskan dalam tabel pertama.
7
Properti
Rama :
Sampur

Gendewa dan nyenyep

Menambah aksen gerak dan meditasi
Mencoba memanah Jatayu karena dianggap lancing
Lesmana: Sampur
Menambah aksen gerak dan  meditasi
Jatayu : Sayap
Menunjukkan arah Sinta yang telah dibawa Rahwana
8
Lighting
Hijau
Biru
Suasana hutan
Suasana duka dan berkabung atas kemtian Jatayu (arwah Jatayu menuju ke angkasa)
9
Musik
Tembang Megatruh Pelog Barang lanjut sampak
Kesedihan akan kematian Jatayu

Dalam tabel keempat, juga menggunakan analisis tentang, cara melihat adegan yang dijelaskan dengan first orders signification, yang juga terdapat makna denotasi, atau sebagai tanda dan penanda. Yakni Ketika Jatayu ditemukan terkapar oleh Lesmana, Rama berusaha untuk segera membunuh Jatayu, dengan satu gerakan ancang-ancang memanah,  akan tetapi usaha tersebut digagalkan oleh Lesmana, dengan membentangkan tangannya yang meberikan pengertian bahwa Jatayu bukanlah pelaku yang membawa Sinta hilang dari hutan Dandaka. Gesture dan mimik yang terlihat oleh Lesmana telihat dari  bentuk  mata yang tambah lebar, mengernyitkan sedikit alis, dan otot bibir tertarik ke dalam serta didukung gesture yang membentakan tangannya untuk menghentikan Rama. Ekspresi dari Rama melebarkan matanya dan  mengerutkan alis, kemudian ia begerak srisig untuk segera menghampiri Jatayu dan Lesmana. Pada saat Jatayu terguling-guling dan berkeinginan untuk memberitahu Rama dan Lesmana tentang arah Rahwana pergi, Jatayu meminta tolong untuk dibangunkan oleh keduanya. Kemudian Jatayu tangan kanan membentang lurus ke arah kanan penari, seakan-akan memberikan informasi tentang perginya Rahwana menbawa Sinta. Tahap second orders signification adalah melihat karakter Rama dan Lesmana ialah tokoh putra halus. Hal ini terlihat dari sistem tanda make-up, rambut, dan  kostum. Sistem make-up yang melekat pada Rama dan Lesmana sama dalam karakter putra halus. Begitu juga dengan tata rambut yang pendek tanpa udalan dan kostum hampir sama unsur-unsurnya yang ditandai dengan nuansa warna hijau, dan dianggap karakter yang baik.
Berbagai sistem tanda lainnya ialah musik sebagai pengiringnya menggunakan iringan tembang Megatruh Pelog Barang, yang menggambarkan kesedihan, bahwa Jatayu gugur. Kemudian didukung dengan menggunakan lighting yang didominasi warna biru,yang menandakan duka dan berlangsungnya doa yang dipanjatkan oleh Rama dan Lesmana.
Makna konotasi yang terdapat dalam adegan ini hampir sama dengan adegan yang ketiga. Matinya orang baik akan tetap dikenang dan didoakan oleh banyak orang. Arwahnyapun akan pergi dengan tenang. Satu hal lagi yang bisa dimaknai dari adegan ini adalah bahwa orang baik dalam hidupnya akan selalu memberi manfaat kepada orang lain, sehingga dalam hidupnya tidak ada yang sia-sia.
BAB III
KESIMPULAN

Melalui pendekatan semiotika, Sendratari Ramayana Prambanan dapat dianalisis dengan menggunakan sistem tanda teater milik Kowzan. Penganalisisan tersebut dapat dilihat melalui sistem-sistem tanda yang muncul pada saat pertunjukan berlangsung. Meskipun dalam penganalisisannya menggunakan teori teater, namun teori ini dapat menunjukkan kaitan antara sistem tanda dan makna-makna secara lebih detail yang disesuaikan pula dengan konteks sajian pertunjukan.
Sistem-sistem tanda yang muncul dalam pertunjukan tersebut memiliki makna yang saling berkaitan antara satu sama lain. Keterkaitan sistem tanda tersebut melahirkan makna denotasi dan konotasi . Makna denotasi dapat dilihat dari sistem tanda yang digunakan diantaranya adalah mimik, gesture, gerak, make-up, hair-style, kostum, setting, properti, nada dan musik. Dalam sistem tanda gesture, mimik, dan gerak yang diwakili oleh tubuh dan ekspresi penari memiliki makna yang berbeda-beda. Pemaknaan sistem tanda tersebut disesuaikan dengan suasana yang muncul dari setiap adegan itu sendiri. Sistem tanda make-up, hair style, dan kostum melahirkan pemaknaan yang berbeda-beda pula. Sistem tanda tersebut memunculkan karakter tersendiri dari setiap tokoh yang diperankan oleh para penari. Hal tersebut dapat diamati dari warna, corak, dan garis yang terdapat dalam kostum yang digunakan oleh para penari. Selanjutnya melalui sistem tanda setting, properti, nada dan musik, peneliti mampu melihat suasana yang muncul dari setiap adegan. Dari suasana tersebut akan turut pula menentukan gerak, gesture, dan mimik. Sesuai yang telah dijelaskan sebelumnya, pemaknaan keduabelas sistem tanda yang terdapat dalam pertunjukan tidak berdiri sendiri. Mereka sangat kompleks dan saling mempengaruhi satu sama lain  Hal ini tentunya disesuaikan dengan konteks dari pertujukan itu sendiri.
Setelah mengetahui makna denotasi yang terdapat dalam pertunjukan Ramayana Prambanan, secara tidak langsung dapat pula mengetahui dan memahami makna konotasi yang terdapat di dalam pertunjukan tersebut. Makna konotasi dapat diketahui dari penggabungan semua sistem tanda yang muncul pada setiap adegan. Melalui penggabungan analisis sistem tanda ini, dapat diketahui bahwa didalamnya terdapat makna konotasi yang didalamnya terkandung pesan-pesan yang muncul secara tersirat. Makna konotasi yang terdapat dalam pertunjukan Ramayana Ballet banyak memiliki pesan-pesan yang berkaitan dengan nilai-nilai dan ajaran kehidupan. Pesan tersebut diantaranya adalah ajaran untuk menjaga dan menghargai kehidupan binatang, dampak buruk dari tindakan mencuri, kekalahan yang dialami orang baik jauh lebih bermartabat, serta manfaat menjadi orang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Moehkardi. 2011. Sendratari Ramayana Prambanan Seni dan Sejarahnya. KPG bekerja sama dengan PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko:Jakarta.

Sahid, Nur. 2016. Semiotika Untuk Teater, Tari, Wayang Purwa, dan Film. Gigih Pustaka Mandiri:Semarang.

Zoest, Art van. 1993. Semiotika Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya:Yayasan Sumber Agung. Jakarta.



* Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Semiotika Seni, Dosen Pengampu: Dr. Nur Sahid, M.Hum. Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 2017.
[1] Moehkardi, Sendratari Ramayana Prambanan Seni dan Sejarahnya,(Jakarta: KPG bekerja sama dengan PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko: 2011), 49-51
[2] Nur Sahid, Semiotika: untuk Teater, Tari, Wayang Purwo, dan Film, (Semarang:Gigih Pustaka Mandiri: 2016) , 68-69
[3] Nur Sahid, Semiotika: untuk Teater, Tari, Wayang Purwo, dan Film, (Semarang:Gigih Pustaka Mandiri: 2016) , 68-69
[4]Ibid.p.86
[5]Ibid.p.99
[6]Ibid.p.99
[7] Ibid.p.120
[8]Ibid.p.82
[9]Ibid.p.83

FOTOGRAFI SINEMATIK KARYA SAM NUGROHO DALAM KAJIAN SEMIOTIK

  “1939 ! ” FOTOGRAFI SINEMATIK KARYA SAM NUGROHO DALAM KAJIAN SEMIOTIKA ROLAND BARTHES Oleh: Sapta Agus Kristanto dan Bonifaci...