Analisis Semiotika Lirik Lagu “Chopin Larung”

Analisis Semiotika Lirik Lagu “Chopin Larung”
Karya Guruh Gipsy
Oleh
Anna Nindita G C, Margi Ariyanti, dan Yedija Remalya S*

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Guruh Gipsy merupakan sebuah proyek kolaborasi musik antara Guruh Soekarnoputra dengan grup musik Gipsy. Bersama dengan anggota grup musik Gipsy yaitu Chrisye (vokal, bass), Odink Nasution (gitar), Abadi Soesman (keyboard), Roni Harahap (piano), serta Keenan Nasution (drum), Guruh ingin bereksperimen menggabungkan musik etnis Bali dengan musik Barat. Mereka memulai proses rekaman pada bulan Juli tahun 1975 dan berakhir pada bulan November tahun 1976.
Dalam proyek ini hanya dihasilkan sebuah album yang bernama “Kesepakatan dalam Kepekatan”. Walaupun begitu, album ini merupakan sebuah proyek yang ambisius dan mendapat banyak pujian dari banyak pihak, baik nasional maupun internasional. Tidak heran jika banyak yang menyebut album ini sebuah mahakarya yang pencapaian nilai artistiknya tidak lekang oleh jaman.
Album ini dicetak dalam jumlah yang sangat terbatas, karena memang proyek ini tidak mengedepankan sisi komersialnya. Guruh dan band Gipsy menciptakan lagu-lagu dalam album ini didasari atas keprihatinan pada kondisi sosio-kultural Bali saat itu yang sedang terpuruk karena datangnya arus westernisasi. Mungkin banyak di antara kita sekarang yang meremehkan pemahaman yang mengkambinghitamkan suatu arus, contohnya yaitu westernisasi dan globalisasi, namun pada kenyataannya, saat itu pada tahun 1970-an, Bali memang mengalami pergeseran sosio-kultural dikarenakan sikap keterbukaan masyarakat Bali yang begitu besar terhadap budaya yang datang dari luar Bali.
Dalam album ini, semua lagu yang dihasilkan merupakan lagu-lagu yang sangat kental dengan nuansa tradisi Bali. Konsep bermusik yang dihadirkan oleh Guruh Gipsy di album ini adalah konsep musik intertekstual, di mana teks instrumen dan kaidah musik Barat dipadukan dengan teks instrumen dan kaidah musik tradisi Bali. Intertekstualitas menurut Julia Kristeva umumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain. Hal tersebut sangat sesuai dengan latar belakang Guruh Gipsy dalam  mendasari pembuatan album ini, yakni keprihatinan atas derasnya arus westernisasi yang datang ke dalam budaya dan tradisi Bali. Ide tersebut tidak hanya diwujudkan dalam konsep berpikir, namun Guruh Gipsy mampu menampilkan dalam wujud komposisi musik, yang jika kita dengarkan komposisinya, maka akan kita rasakan bahwa masing-masing unsur dalam musik tersebut mewakili simbol-simbol yang tertuang dalam ide penciptaan karya.
Tulisan ini akan membahas salah satu lagu dari album “Kesepakatan Dalam Kepekatan” yaitu “Chopin Larung”. Namun karena keterbatasan data, makalah ini hanya membahas dari segi liriknya. Analisis dari segi musik hanya dibahas secara singkat.

B.     Tujuan
    Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan dan menganalisis lirik komposisi “Chopin Larung” karya Guruh Gipsy dengan menggunakan pendekatan semiotika Peirce dan Saussure.

C.    Pendekatan Teori
Analisis lirik komposisi “Chopin Larung” dalam tulisan ini dapat menggunakan  dua macam teori yaitu teori Charles Sanders Peirce dan Saussure. Pendekatan semiotika Peirce yang digunakan dalam tulisan ini yaitu pendekatan yang menjelaskan hubungan antara tanda dan acuannya. Pendekatan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu ikon, indeks dan simbol.[1] Kemudian pendekatan semiotika Saussure yaitu bahasa sebagai sistem tanda. Saussure mempunyai sistem tanda yang diadik yang disebut sebagai “penanda” (signifiant) dan petanda (signifie).[2]


BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

1.    Lirik Komposisi “Chopin Larung”
Berikut adalah lirik “Chopin Larung” beserta artinya dalam bahasa Indonesia:
“Chopin Larung”

Yen Chopin padem ring Bali (Jika Chopin meninggal di Bali)
Kerarung saking daksina (dihanyutkan dari selatan)
Titiang mengenang Bali (diriku mengenang Bali)
Sunantara wong ngrusak asik negara (sementara orang mengganggu negara/ bumi)

Sang jukung kelapu-lapu (perahu terombang-ambing)
Santukan Baruna kroda (karena Dewa Laut murka)
Nanging Chopin nenten ngugu (namun Chopin tiada memahami)
Kadang ipun ngrusak seni-budaya (kadang bangsanya merusak seni budaya)

Risedeg sang jukung kampih (ketika sang perahu terdampar)
Ring Legian-Kayuaya (di Legian-Kayuaya)
'te-Lonte ring sisih pasih (pelacur di pinggir pantai)
anak lacur melalung ngadolin ganja (orang miskin telanjang menjual ganja)

Chopin ten uning ring Bali (Chopin tidak tahu mengenai Bali)
Wong putih mondok ring Kuta (orang kulit putih/ bule tinggal di kota)
Asing lenga lali ring Widi (lupa pada Tuhan)
Tan urungan jagi manemu sengkala (tak urung bakal menemui malapetaka)

Gending Chopin maring ati (lagu Chopin di hati)
nabuhang wirama duka (melantunkan irama duka)
Duh nyama braya ring Bali (duh, saudara-saudara di Bali)
dong sampunang banget nunaning prayatna (tolong jangan terlalu)[3]

2.    Pembahasan Lirik “Chopin Larung”
     Komposisi “Chopin Larung” ini diciptakan pada tahun 1975 oleh Guruh Gipsy. “Chopin Larung” dalam bahasa Bali artinya adalah Chopin yang dihanyutkan. Interteks di sini sudah dihadirkan dengan adanya judul yang memadukan kata “Chopin” dan kata “Larung”. “Chopin” diambil dari nama komposer musik dari Barat yaitu Frederic Francois Chopin (1 Maret 1810-17 Oktober 1849) yang merupakan komposer dan pemain piano dari Polandia. “Larung” merupakan bahasa tradisional Bali yang artinya dihanyutkan.
Menggunakan pendekatan analisis semiotika dari Peirce, dapat ditemukan ikon, indeks, dan simbol dalam lirik komposisi “Chopin Larung” sebagai berikut:
Ikon Metafora (ikon yang tidak menunjukkan kemiripan antara tanda dengan acuannya. Yang mirip bukanlah tanda dengan acuannya, melainkan antara dua acuan yang diacu oleh tanda yang sama)[4]:
·         Perahu terombang-ambing bermakna orang-orang Bali yang kebingungan dengan keadaan saat itu, di mana budaya dari luar datang dan masuk ke Bali dengan derasnya, menyebabkan orang Bali menjadi bingung mau memilih budaya yang mana.
·         Perahu terdampar di Legian-Kayuaya bermakna bahwa di Legian-Kayuaya saat itu banyak terdapat pembangunan hotel dan vila yang merusak lingkungan.
·         Orang miskin telanjang menjual ganja bermakna bahwa masyarakat Bali yang terkena imbas dari pembangunan tempat penginapan dan masuknya budaya Bali akibat pariwisata yang semakin berkembang. Pohon-pohon dan kebun yang sebelumnya dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan bagi warga setempat, ditebang untuk pembangunan sehingga warga tersebut kehilangan sumber penghasilan.
·         Orang putih bermakna orang Barat.
·         Malapetaka bermakna bencana.
·         Irama duka bermakna kesedihan.
Indeks (tanda yang dengan acuannya mempunyai kedekatan eksistensial)[5]:
·           Dari Selatan bermakna petunjuk arah dari laut (Kelod) bagi masyarakat Bali yang tinggal di Selatan gunung.
Simbol (tanda yang dalam hubungannya dengan acuannya telah terbentuk secara konvensional)[6]:
·         Chopin merupakan simbol dari seorang seniman dari Barat.
·         Larung merupakan simbol dari kematian.
·         Diriku merupakan simbol dari komposer/ penulis lagu “Chopin Larung”.
·         Negara/ bumi merupakan simbol dari Bali.
·         Perahu merupakan simbol dari budaya Bali.
·         Bangsanya merupakan simbol dari bangsa/ orang Barat.
·         Pelacur merupakan simbol dari menjual diri, tuna susila.[7]
Kemudian menggunakan pendekatan analisis semiotika dari Saussure, dapat ditemukan penanda (penanda sebagai citra bunyi, dalam konteks bahasa dan budaya lisan)[8] dan petanda (sebagai konsep yang terkandung di dalam penanda)[9] dalam lirik “Chopin Larung” sebagai berikut:


Penanda
Petanda
1.
Chopin
·      Komposer yang bernama lengkap Frederic Francois Chopin.
·      Komposer dan pemain piano dari Polandia.
·      Komposer terbesar dari jaman Romantik.
·      Seniman dari Barat.
2.
Bali
·      Nama sebuah provinsi di Indonesia.
·      Pulau seribu pura.
·      Tempat tujuan pariwisata.
3.
Selatan
·      Daksina (bahasa Bali).
·      Salah satu arah mata angin dalam kompas.
·      Arah mata angin yang berlawanan dengan Utara.
4.
Perahu
·       Jukung (bahasa Bali).
·       Sebuah kendaraan air.
·       Kendaraan air yang lebih kecil dari kapal laut.
5.
Terombang-ambing
·      Kelapu-lapu (bahasa Bali).
·      Bingung.
6.
Dewa Laut
·      Baruna Kroda (bahasa Bali).
7.
Murka
·      Kroda (bahasa Bali)
·      Marah.
8.
Legian-Kayuaya
·      Sebuah kawasan di Bali yang berisi hotel dan villa.
9.
Pelacur
·      Lonte (bahasa Bali).
·      Orang yang menjual diri.
·      Orang yang tuna susila.
10.
Orang miskin
·      Orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.
11.
Ganja
·      Cannabis Sativa (bahasa Latin)
·      Tumbuhan budidaya penghasil serat, namun lebih dikenal sebagai obat psikotropika karena adanya kandungan tetrahidrokanabinol yang dapat membuat pemakainya mengalami euforia (rasa senang berkepanjangan tanpa sebab).[10]
12.
Orang kulit putih
·      Orang Barat.
·      Orang bule.
·      Orang ras Kaukasoid.
13.
Tuhan
·      Widi (bahasa Bali).
14.
Malapetaka
·      Sengkala (bahasa Bali)
·      Bencana
·      Kehancuran

Dilihat dari hasil analisis semiotika menggunakan teori Peirce dan Saussure di atas, lagu “Chopin Larung” bercerita tentang “Chopin”, seorang seniman dari Barat, yang gelisah karena masuknya nilai-nilai budaya Barat dalam budaya Bali yang disebabkan oleh bangsanya sendiri (bangsa Barat).
Bali sejak awal 1970-an telah menjadi pulau pariwisata.[11] Survey tahun 1976 yang dilakukan oleh Bali Tourism Development Board, memberikan informasi tentang tanda-tanda negatif dari pariwisata. Dapat disebut di sini secara acak betapa menonjolnya peningkatan angka kejahatan umum dan pelacuran, contoh negatif perilaku amoral yang gamblang dari kaum hippies (yang terutama dikecam karena kebiasaan free sex-nya dan penggunaan berbagai narkoba) serta pengaruh negatif mereka terhadap kaum muda, harga kebutuhan hidup, dampak persaingan yang merenggangkan suatu masyarakat yang dahulunya kompak, serta munculnya berbagai perilaku individualistis dan materialistis.[12]

Pembahasan Musik “Chopin Larung”
(Dikarenakan keterbatasan data dan tidak adanya partitur musik, makalah ini hanya membahas segi musik dalam komposisi “Chopin Larung” secara singkat).
Dalam komposisi musik “Chopin Larung” ini, intertekstual dihadirkan dalam bentuk perpaduan antara dua unsur teks yaitu teks instrumen dan kaidah musik Barat dengan teks instrumen dan kaidah musik tradisi Bali. Dalam pemilihan jenis-jenis instrumen musiknya, Guruh Gipsy menggunakan instrumen yang mewakili budaya Barat dan instrumen yang mewakili budaya Bali. Instrumen yang mewakili budaya Barat yaitu piano, vokal (choir), strings (synthesizer) dan timpani, sedangkan instrumen yang mewakili budaya Bali yaitu gamelan Bali. Selanjutnya dalam interaksi kedua jenis instrumen dalam komposisi tersebut, masing-masing menciptakan simbol yaitu simbol budaya Barat dan simbol budaya Bali. Guruh Gipsy dalam komposisi ini menggandeng seniman lain di luar band yaitu Hutauruk Sisters (choir), Trisutji Kamal (pianis), dan I Gede Kompyang Raka (aransemen gamelan Bali).
Dengan analisis menggunakan pendekatan teori Peirce, komposisi yang berdurasi 7 menit 20 detik ini dapat ditemukan ikon, indeks dan simbolnya. Pada bagian intro lagu, terdapat suara ombak di pantai dan diiringi oleh suara burung yang sedang terbang, hal ini menandakan bahwa setting komposisi ini adalah di pantai, mungkin pantai yang dimaksud adalah pantai  Legian-Kayuaya seperti yang tertulis di dalam lirik lagu (indeks).
Chrisye sebagai vokal utama dalam lagu ini bernyanyi dengan volume suara yang lembut dan seperti tidak berdaya. Pembawaan vokal ini sebagai indeks bahwa lagu ini merupakan lagu yang bercerita tentang kesedihan. Pada tiga stanza yang pertama, Chrisye bernyanyi tanpa diiringi oleh backing vokal.
Guruh Gipsy menggunakan fragmen dari Fantasie Impromptu karya F.F Chopin sebagai ikon dari budaya Barat, karena fragmen tersebut dimainkan menggunakan instrumen piano dan merupakan komposisi piano yang menggunakan tangga nada diatonis. Kemudian berlawanan dengan itu, terdapat bunyi-bunyian yang dihasilkan dari beberapa instrumen gamelan Bali. Bunyi-bunyian tersebut menggunakan tangga nada pentatonis, sehingga dapat disebut sebagai ikon budaya tradisi Bali.
Permainan piano sangat mendominasi keseluruhan komposisi ini dari awal hingga akhir. Permainan piano yang dimainkan oleh Trisutji Kamal tersebut terdengar sangat agresif dan mencapai klimaks pada sekitaran menit ke empat menuju ke menit ke lima. Permainan piano yang pada awal lagu memainkan not bernilai seperempat, ketika menuju klimaks, permainan piano memainkan not yang bernilai sepertigapuluhdua, sehingga temponya terdengar sangat cepat. Ketukan yang semakin cepat tersebut sebagai simbol bahwa piano sebagai ikon budaya Barat sedang berusaha mengejar dan menyerang suara gamelan sebagai ikon budaya Bali.
Nuansa harmoni lagu pada komposisi “Chopin Larung” ini secara keseluruhan adalah tangga nada minor. Tangga nada minor terdengar sedih sehingga dapat disebut sebagai simbol kesedihan. Walaupun demikian, pada saat menit keenam, tangga nada minor ini selama beberapa detik berubah ke tangga nada mayor, kemudian kembali lagi ke tangga nada aslinya yaitu minor. Berlawanan dengan tangga nada minor, tangga nada mayor terdengar bahagia, sehingga dapat disebut sebagai simbol harapan atau kebahagiaan.
Hutauruk Sisters mengisi suara choir sebagai backing vocal yang mengiringi Chrisye pada dua stanza terakhir komposisi ini. Sebelumnya mereka bernyanyi  dengan berteriak yang kedengarannya seperti kata aaaahhhhhh dengan nada yang terdengar psychedelic. Teriakan ini dapat menjadi simbol tentang puncak kesedihan dan kemarahan seseorang (dalam hal ini mungkin budaya Bali).

BAB III
KESIMPULAN

Hasil penelitian lirik dalam karya “Chopin Larung” menggunakan pendekatan analisis semiotika Peirce dan Saussure menunjukkan bahwa lagu tersebut mengisahkan tentang keprihatinan seorang seniman Barat “Chopin” terhadap masuknya nilai-nilai budaya Barat sehingga budaya Bali mengalami pergeseran nilai. Namun “Chopin” sendiri tidak tahu bahwa penyebab pergeseran nilai budaya Bali adalah bangsanya sendiri (bangsa Barat). Saat komposisi ini dibuat, yaitu pada tahun 1976, memang saat itu Bali mengalami pergeseran sosio-budaya disebabkan karena saat itu Bali menjadi pulau tujuan wisata dari seluruh dunia, dengan kata lain lagu ini dibuat sesuai dengan konteks masyarakat pada saat itu.
Fragmen dari komposisi Fantasie Impromptu milik Chopin digunakan oleh Guruh Gipsy sebagai simbol budaya Barat. Secara jelas Guruh Gipsy memadukan dua macam instrumen dan kaidahnya untuk menggambarkan kedua jenis kebudayaan yang sedang berinteraksi. Guruh Gipsy mampu menghadirkan suatu konsep dan ide tentang budaya Barat yang menyerang budaya Bali dengan menggunakan sistem intertekstual dalam komposisinya, sehingga ketika orang mendengarkan komposisi tersebut, seolah-olah mereka melihat secara langsung apa yang sedang terjadi di Bali saat itu.


DAFTAR PUSTAKA


Atmadja, Nengah Bawa, 2010, Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.

Mashad, Dhurorudin, 2014, Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang             Hilang, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Picard, Michel, 2006, Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata,      Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Piper, Susan dan Sawung Jabo, “Musik Indonesia dari 1950an hingga 1980an, 1987 Vol.16, No.5, Hal.8-19.
Sahid, Nur, 2016, Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang Purwa, dan Film, Semarang: Gigih Pustaka Mandiri.

Sumber Internet:

April’s Notes. “Chopin Larung”. 2011. http://www.google.com/search?hl=inID&ie=UTF-8&source=android-browser&q=semiotika+lirik+chopin+larung. Diakses pukul 15.30, pada tanggal 10 Maret 2017.
Wikipedia. Diakses pukul 11.44, pada tanggal 28 Maret 2017.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Diakses pukul 12.55, pada  tanggal 13 Maret 2017.



* Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Semiotika Seni, Dosen Pengampu: Dr. Nur Sahid, M.Hum. Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 2017
[1] Nur Sahid, Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang Purwa, dan Film, (Semarang: Gigih Pustaka Mandiri, 2016, hal 6).

[2] Nur Sahid, 2016, 7-8.
[3] April’s Notes “Chopin Larung”. Diakses pukul 15.30, pada tanggal 10 Maret 2017.
[4] Nur Sahid, 2016, 6.
[5] Nur Sahid, 2016, 7.
[6] Nur Sahid, 2016, 7.
[7] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Diakses pukul 12.55, pada tanggal 13 Maret 2017.
[8] Nur Sahid, 2016, 8.
[9] Nur Sahid, 2016, 8.
[10] Wikipedia. Diakses pukul 11.44, pada tanggal 28 Maret 2017.
[11] Dhurorudin Mashad, Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni Yang Hilang, (Jakarta: Penerbit  Pustaka Al-Kautsar, 2014, hal 264).
[12] Michel Picard, Bali:Pariwisata budaya dan budaya pariwisata, (Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia KPG, 2006, hal 117). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FOTOGRAFI SINEMATIK KARYA SAM NUGROHO DALAM KAJIAN SEMIOTIK

  “1939 ! ” FOTOGRAFI SINEMATIK KARYA SAM NUGROHO DALAM KAJIAN SEMIOTIKA ROLAND BARTHES Oleh: Sapta Agus Kristanto dan Bonifaci...