TARI LIMA SERANGKAI Dalam Perspektif Semiotika

TARI LIMA SERANGKAI
( Dalam Perspektif Semiotika )
Oleh
Risda Octavia Barus*

A.    PENDAHULUAN
             A.1. Latar Belakang
            Kesenian adalah salah satu produk budaya, yang dalam kehidupannya selalu tidak pernah lepas dari masyarakat, merupakan salah satu unsur yang terdapat dalam kebudayaan, mancakup aktivitas dari masyarakat itu sendiri.  Suku Karo merupakan bagian dari etnis yang berada di wilayah Sumatera Utara, memiliki berbagai macam kesenian seperti tarian, musik, sastra dan lain sebagainya. Salah satu kesenian yang digunakan oleh suku Karo dalam berbagai aktivitas kehiduupan masyarakat adalah seni tari. Tarian bagi masyarakat Karo selalu digunakan pada berbagai kegiatan adat, media utama adalah sebagai media hiburan. Salah satu tarian yang disertakan yaitu tari lima serangkai.
            Tari Lima Serangkai diperkirakan tercipta sekitar tahun 1960, menurut Sempa Sitepu,dkk dalam bukunya Pilar Budaya Karo (1996:200). Tari Lima Serangkai sudah ada sejak masyarakat suku Karo mengetahui tari kira-kira tahun 1956. Tema dalam tarian Lima Serangkai adalah unsur yang ada. Maksud unsur yang ada adalah merupakan kejadian atau pengalaman hidup yang sangat sederhana misalnya cerita rakyat, kepahlawanan, legenda, binatang dan lain-lain. Namun demikian tema dalam tari Lima Serangkai merupakan sesuatu yang lazim, karena tujuan dari tari adalah komunikasi antara karya seni dengan masyarakat yang menikmatinya. Tari Lima Serangkai ini bertemakan pergaulan, pergaulan yang dimaksud adalah muda mudi Karo. Yakni pertemuan ramah tamah sepasang insan manusia yang berkenalan secara adat Karo (ertutur), kemudian secara tutur muda mudi ini dapat berteman dekat (berpacaran) dan akhirnya mereka menjalin hubungan kasih hingga sampai kejenjang pernikahan. Untuk melakukan pertunjukan tari Lima Serangkai yang dipersiapkan adalah 10 orang penari, yang terdiri dari 5 orang laki-laki dan 5 orang perempuan yang mewakili dari kelima marga inti suku Karo. Tari Lima Serangkai ditarikan oleh muda-mudi yang usia tidak dibatasi tetapi belum menikah. Biasanya penari dalam satu kelompok merupakan siswa-siswi yang tergabung dalam satu sanggar tari. Tidak ada syarat khusus untuk menjadi penari Lima Serangkai, siapa saja bisa asalkan ada kemauan untuk belajar dan berusaha. Sebelum melakukan pertunjukan, para penari telah berlatih untuk melakukan keseragaman gerak tari. Pertunjukan tari Lima Serangkai sering ditampilkan dalam Gendang Guro-guro Aron dan acara Kerja Tahun. Gendang Guro-guro Aron dan acara Kerja Tahun biasanya dilakukan di sebuah balai terbuka (Jambur), dimana semua masyarakat kampung menonton penampilan tari. 
            Dalam perspektif semiotika Tari Lima Serangkai dalam elemen-elemen geraknya berisi tanda-tanda. Penari bergerak untuk menyajikan representasi yang divisualkan melalui wujud gerak, busana, make-up dan teknik tari.  Dengan demikian penulis dapat memiliki interperetasi pada setiap tanda yang disajikan.


A.    2. Tujuan Penulisan
            Pembahasan Tari Lima Serangkai dalam Perspektif Semiotika menjadi daya Tarik tersendiri bagi penulis untuk melihat bagaimana sudut pandang semiotika diaplikasikan pada Tari Lima Serangkai. Kajian ini dapat dilakukan untuk memperdalam pemahaman tentang elemen-elemen tanda  serta mengetahui makna denotasi dan konotasi pada Tari lima Serangkai

A.    3. Landasan Teoritis
            Memperdalam pembahasan sebagai perspektif semiotika, penulis menggunakan teori Pierce. Pierce menyebut model sistem analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut telah menjadi istilah yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda. Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda dan produksi makna (Sumbo Tinarbuko, 2008:12). Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Ia mampu menggantikan suatu yang lain yang dapat dipikirkan atau dibayangkan.
            Merujuk pada teori Pierce (Noth, 1995:45), berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda-tanda dalam gambar dan dapat dilihat dari jenis tanda yang digolongkan dalam semiotik. Diantaranya : ikon, indeks, dan simbol (Kris Budiman, 2005:56). Pertama : Dengan mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua : Menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika kita menyebut tanda sebua indeks. Ketiga : Kurang lebih, perkiraan yang pasti bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotaif sebagai akibat dari suatu kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebuah simbol.
            Pemilihan teori ini ditujukan dengan alasan bahwa sistem tanda menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif sehinggga pemaknaan yang dihasilkan akan lebih mendetail. Sehingga analisis penulis akan lebih terfokus dalam mengamati tanda pada gerak.

B.     PEMBAHASAN

B.1.     Tari Lima Serangkai
            Menurut Bpk. M. Ukur Ginting secara koreografi, tari Lima Serangkai merupakan satu tarian yang diiringi lima gendang yaitu gendang morah-morah, gendang perakut, gendang patam-patam sereng, gendang sipajok dan gendang kabangkiung, yang menghasilkan komposisi pola gerak tari dan gerak tersebut memiliki nilai-nilai estetis dalam penyajiannya. Tari dalam bahasa Karo disebut “Landek.” Pola dasar tari Karo adalah posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan naik turun lutut (endek) disesuaikan dengan tempo gendang dan gerak kaki. Pola dasar tarian itu ditambah dengan variasi tertentu sehinggga tarian tersebut menarik dan indah.
            Keindahan dalam suatu tarian tidak terlepas dari unsur pembentuk, maka unsur pembentuk tarian tersebut adalah:
1. Gerak endek ( gerak naik turun )
2. Gerak jole ( gerak goyang badan )
3. Gerak lampir tan ( gerak kelentikan jari )
            Dari struktur tari ini ada bagian-bagian gerak yang berkaitan satu dengan yang  lainnya dan gerak tersebut dianggap memiliki makna. Bagi masyarakat Karo, gerakan tari (landek) selalu berhubungan dengan perlambangan tertentu. Perlambangan yang dimaksud yaitu menggambarkan makna yang terkandung pada tari Lima Serangkai. Biasanya menceritakan sifat manusia hubungan dengan individu maupun hubungan dengan kehidupan sosialnya.
            Tari Lima Serangkai ini menceritakan tentang muda mudi yang bertemu dan ertutur (berkenalan) satu dengan yang lainnya, hingga mereka menjalin hubungan dan menuju perkawinan. Tari ini menggambarkan percintaan muda-mudi pada malam hari dibawah terang sinar bulan purnama. Tari ini dibawakan dengan karakter gerak yang lebih lemah gemulai. Walaupun dibeberapa daerah makna tari Lima Serangkai tidak selalu sama, ini dikarenakan perbedaan kebiasaan dan pola pikir masyarakat didaerah tersebut. Pengaruh modernisasi, pendidikan dan lainnya dapat membuat pola pikir masyarakat berubah, sehingga menghasilkan kebiasaan, adat istiadat, tingkah laku, budaya, serta tradisinya sendiri.
            Bagi masyarakat Karo, dikenal istilah uga gendangna bage endekna, yang artinya bagaimana musiknya, harus demikian juga gerakannya (endek). Endek diartikan disini tidak sebagai gerakan menyeluruh dari anggota badan sebagai sebagaimana tarian pada umumnya, tetapi lebih ditekankan kepada gerakan kaki saja. Oleh sebab itu endek tidak dapat disamakan sebagai tari, meskipun unsur tarian itu ada disana. Hal ini disebabkan konsep budaya itu sendiri yang memberi makna yang tidak dapat diterjemahkan langsung kata per kata. Karena konsep tari itu sendiri mempunyai perbedaan konsep seperti konsep tari yang dalam berbagai kebudayaan lainnya. Konsep endek harus dilihat dari kebudayaan karo itu sendiri sebagai pemilik kosa kata tersebut.
            Konsep-konsep seperti ini juga dapat kita lihat pada istilah musik bagi masyarakat Karo. Pada masyarakat Karo tidak dikenal istilah musik, dan tidak ada kosa kata musik, tetapi dalam tradisi musik kita mengenal istilah gendang yang terkait dengan berbagai hal dalam ‘musik’ atau bahkan dapat diterjemahkan juga sebagai musik. Bagi masyarakat Karo gendang bermakna jamak, setidaknya gendang mempunyai lima makna,
(1) gendang sebagai ensambel musik, misalnya gendang lima sedalanen, gendang telu sedalanen dan sebagainya;
(2) gendang sebagai repertoar atau kumpulan beberapa buah komposisi tradisional, misalnya gendang perang-perang, gendang guru dan sebagainya;
(3) gendang sebagai nama lagu atau judul lagu secara tradisional, misalnya gendang simalungen rayat, gendang odak-odak, gendang patam-patam (yang juga terkadang sebagai cak-cak atau style) dan sebagainya;
(4) gendang sebagai instrument musik, misalnya gendang indung, gendang anak; dan
(5) gendang sebagai upacara, misalnya gendang guro-guro aron, dan sebagainya. Konsep seperti ini juga berlaku bagi tarian.
            Endek dapat diartikan sebagai gerakan dasar, yaitu gerakan kaki yang sesuai dengan musik pengiring (accompaniment) atau musik yang dikonsepkan pada diri sipenari sendiri, karena ada kalanya juga gerakan-gerakan tertentu dapat dikategorikan sebagai tarian, namun tidak mempunyai musik pengiring. Kegiatan menari itu sendiri disebut dengan landek, namun untuk nama tari jarang sekali dipakai kata landek, jarang sekali kita pernah mendengar untuk menyebutkan landek roti manis untuk tari roti manis atau tarian lainnya. Malah lebih sering kita dengar dengan menggunakan istilah yang diadaptasi dari bahasa Indonesia yaitu ‘tari’, contohnya tidak menyebut Landek Lima Serangke, tapi Tari Lima Serangke. Landek langsung terkait dengan kagiatan, bukan sebagai nama sebuah tarian.
            Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam tari karo, yaitu endek (gerakan naik turun kaki), jole atau jemole, yaitu goyangan badan, dan tan lempir, yaitu tangan yang gemulai, lembut. Namun disamping itu bagaimana ketiga unsur tersebut dapat diwujudkan dalam gerakan-gerakan tari, terkait dengan musik pengiring itu sendiri dan dalam konteks tarian itu sendiri, misalnya dalam tarian adat, muda-mudi, khusus, dan sebagainya. Gerakan dasar tarian Karo dibagi atas beberapa style yang dalam bahasa Karo disebut dengan cak-cak. Ada beberapa cak-cak yang dikenal pada musik Karo, yang terkait dengan gaya dan tempo sekaligus, yaitu yang dimulai dari cak-cak yang sangat lambat sampai kepada cak-cak yang relative cepat, yaitu antara lain yang lazim dikenal adalah:
cak-cak simalungen rayat, dengan tempo lebih kurang 60 – 66 jika kita konversi dalam skala Metronome Maelzel. Apabila kita buat hitungan berdasarkan ketukan dasar (beat), maka cak-cak ini dapat kita kategorikan sebagai cak-cak bermeter delapan. Artinya pukulan gung dan penganak (small gong) sebagai pembawa ketukan dasar diulang-ulang dalam hitungan delapan;
cak-cak mari-mari, yang merupakan cak-cak yang lebih cepat dari cak-cak simalungen rayat. Temponya lebih kurang 70 hingga 80 per menit;
cak-cak odak-odak, yang merupakan cak-cak yang temponya lebih kurang 90 – 98 per menit dalam skala Maelzel.
cak-cak patam-patam, merupakan cak-cak kelipatan bunyi ketukan dasar dari cak-cak odak-odak, dan temponya biasanya lebih dipercepat sedikit antara 98 sampai 105. Endek kaki dalam cak-cak ini merupakan kelipatan endek dari cak-cak odak-odak.
cak-cak gendang seluk, yaitu cak-cak yang sifatnya progressif, semakin lama semakin cepat, yang biasanya dimulai dari cak-cak patam-patam. Jika dikonversi dalam skala metronome Maelzel, kecepatannya bias mencapai 160-an, dan cak-cak silengguri, biasanya cak-cak ini paling cepat, karena cak-cak ini dipakai untuk mengiringi orang yang intrance atau seluk (kesurupan).

C.    PEMBAHASAN
            Dalam perspektif semiotika Tari Lima Serangkai pada elemen pertunjukan berisi tanda-tanda. Kajian ini dapat dilakukan untuk memperdalam pemahaman tentang elemen-elemen tanda  serta mengetahui makna denotasi dan konotasi pada Tari Lima Serangkai. Sebagai pisau bedah dalam menelaah Tari Lima Serangkai dalam Perspektif Semiotika penulis mengunakan pendekatan semiotika milik Pierce, bahwa sistem tanda menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Pemilihan teori ini ditujukan dengan alasan bahwa sistem tanda milik Pierce dapat mewakili elemen komunikasi yang ada dalam pertunjukan Tari Lima Serangkai dan dapat membedah tanda dari masing-masing ragam gerak pada tarian sehinggga pemaknaan yang dihasilkan akan lebih mendetail. analisis penulis akan lebih terfokus dalam mengamati sistem Tanda pada gerak, dan musik tari.

D.    DAFTAR PUSTAKA
Ginting, Nalinta. 1984. Turi-turun Beru Rengga Kuning: turu-turin Adat
Budaya Karo. Deli Tua: Toko Buku Kobe
Ginting, Joosten, Leo dan Kriswanto Ginting. 2014. Tanah Karo (Selayang Pandang). Medan: Bina Media Perintis
Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest. 1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Zoest, Art van. 1993. Semiotika Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Yayasan Sumber Agung. Jakarta.


* Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Semiotika Seni, Dosen Pengampu: Dr. Nur Sahid, M.Hum. Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FOTOGRAFI SINEMATIK KARYA SAM NUGROHO DALAM KAJIAN SEMIOTIK

  “1939 ! ” FOTOGRAFI SINEMATIK KARYA SAM NUGROHO DALAM KAJIAN SEMIOTIKA ROLAND BARTHES Oleh: Sapta Agus Kristanto dan Bonifaci...