SEMIOTIKA DALAM KONSEP TATA RUANG “PERJALANAN SANG MATAHARI”

SEMIOTIKA DALAM KONSEP TATA RUANG
“PERJALANAN SANG MATAHARI”
Oleh:
Bayu Aji Pamungkas*

I.                   LATAR BELAKANG
Dalam perkembangannya tata ruang tidak selalu membicarakan dan hanya mengedepankan fungsi, ada makna atau arti lain yang dibawa dalam setiap tata ruang (dalam hal ini arsitektur dan desain interior juga termasuk). Seolah kreator (desainer/arsitek/konseptor) ingin berkomunikasi dan menyampaikan sebuah dialog kepada orang lain.Adalah hal yang menarik untuk melihat semiotika dalam sebuah konsep tata ruang. Penulis mencoba sedikit memaparkan dalam tulisan ini dengan mengambil contoh sebuah konsep tata ruang sebagai objeknya. Konsep tersebut diberi nama “Perjalanan sang Matahari”.
Konsep Tata Ruang “Perjalanan Sang Matahari” merupakan konsep tata ruang yang sudah sejak lama ada di dalam komplek Pondok Pesantren Pabelan. Konsep tata ruang ini sudah ada sejak berdirinya Pondok Pesantren Pabelan pada tahun 1965 yang merupakan kebangkitan dari pesantren yang ketiga, setelah sebelumnya mengalami pasang surut. Konsep tata ruang “Perjalanan Sang Matahari” ini merupakan bagian kecil dari keseluruhan komplek Pondok Pesantren Pabelan yang berada di desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Pesantren adalah sebuah pendidikan tradisional yang para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku[1].


II.                TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk melihat konsep tata ruang ‘Perjalanan sang Matahari’ dari sudut pandang semiotika. Diharapkan hal tersebut dapat memberikan pemahaman mendalam tentang semiotika yang diterapkan dalam tata ruang.

III.             LANDASAN TEORI
Dalam melihat konsep tata ruang ‘Perjalanan sang Matahari’ ini penulis menggunakan pendekatan Semiotika Konotatif milik Aart Van Zoest (1978). Aliran Semiotika Konotatif merupakan salah satu dari tiga aliran semiotika yang muncul. Semiotika Konotatif merupakan semiotika yang mempelajari masalah-masalah tanda disengaja dan konotasi dapat disebut semiotika konotatif (Zoest, 1993:4). Aliran Semiotika Konotatif mempelajari arti/makna tanda-tanda yang konotatif. Semiotika Konotatif ini banyak diterapkan pada bidang kesusastraan dan arsitektur[2].
Aliran Semiotika Konotatif lebih melihat pada makna konotatif yakni makna kedua atau makna tersirat dari sebuah tandadaripada makna/arti langsung dari suatu tanda yang telah disepakati bersama atau telah menjadi pengertian yang sama atau biasa disebut denotatif.

IV.             PEMBAHASAN


Konsep Tata Ruang “Perjalanan Sang Matahari” dan Makna yang Dibawanya
Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok diperkirakan berasal dari Bahasa Arab “Funduq” yang berarti asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau[3].

Secara keseluruhan tata ruang dan arsitektural komplek Pondok Pesantren Pabelan dirancang oleh Kiai Hamam Dja’far sebagai pendiri Pondok Pesantren Pabelan dan tim arsitek yaitu; Amin Arraihana, Ahmad Fanani, dan LP3ES, di dalamnya terdapat bagian khusus yang sejak awal didirikan tidak berubah hingga saat ini (2017), yaitu Konsep Perjalan Sang Matahari.

Gambar 1. KH. Hamam Dja’far
Sumber: Arsip Pondok Pesantren Pabelan

Tata ruang Pondok Pesantren Pabelan juga mendapatkan penghargaan Aga Khan Award for Architecture. Arsitektur dan bangunan pesantren dibangun seluruhnya menggunakan bahan baku lokal, berteknologi lokal tetapi dapat mendatangkan manfaat untuk masa depan. Penghargaan tersebut bukan didasarkan pada unsur arsitektural pada umumnya seperti bentuk, ornamentasi, atau warna, tetapi lebih pada model settlement pembangunan dan pemanfaatannya yang islami. Hal ini senada dengan apa yang ditulis Ana Suryana Sudrajat[4] dalam buku “Kiai Hamam Dja’far dan Pondok Pabelan”:
“Salah satu pertimbangan dewan juri –seluruhnya 9 orang yang terdiri dari para arsitek dan sarjana dari berbagai negara di dunia, termasuk Soedjatmoko, Rektor Universitas PBB di Tokyo – untuk memilih Pondok Pabelan sebagai penerima penghargaan The Aga Khan Award for Architecture adalah: “Walaupun tak ada penemuan arsitektural yang luar biasa, lembaga ini (Pondok Pabelan) mampu mengembangkan ekspresi arsitektural yang asli yang menjawab tuntutan pedesaan modern”. Soedjatmoko mengatakan bahwa para juri umumnya kagum pada pendidikan pesntren seperti yang dilakukan Pabelan, yang disamping mendidik santri juga melatih masyarakat setempat. Alhasil, Pondok Pabelan dinilai sangat berperan dalam menjawab kebutuhan pendidikan di dunia ketiga, dan mampu menerjemahkan nilai Islam dalam arsitektur”[5]

Konsep tata ruang ini bukan berbicara tentang gaya tata ruang, arsitektural ataupun ornamentasi, melainkan memiliki makna tentang pelajaran bagaimana hakikat hidup seorang manusia, makna ini yang akhirnya ditangkap secara konotatif. Seperti halnya matahari yang terbit dari timur dan tenggelam di barat, konsep ini tersusun atas 4 bagian yang dimulai dari ujung timur hingga ujung barat secara bersambung, yang tersusun atas;

Perpustakaan.
Perpustakaan diletakan di ujung timur sebagai representasi awal kehidupan manusia, sebagaimana ayat yang pertama kali diturunkan di dalam Al-Quran adalah iqra’ yang berarti bacalah yang ditafsirkan juga perintah untuk belajar. Manusia mengawali hidup harus memiliki ilmu sehingga gedung perpustakaan diletakan di ujung timur sebagai awal. Menurut pada fungsi umumnya sebuah perpustakaan memiliki fungsi sebagai tempat untuk menyimpan, mengoleksi dan membaca buku. Ruang perpustakaan memiliki arti pertamanya (denotatif) sebagai fungsi, kemudian juga memiliki arti kedua (konotatif) sebagai representasi awal kehidupan seorang manusia yang harus berilmu.


Gambar 2. Perpustakaan Pondok Pesantren Pabelan
Sumber: Arsip Pondok Pesantren Pabelan


Lapangan.
Setelah perpustakaan ke arah barat terdapat lapangan. Lapangan sebagai representasi kehidupan di dunia tempat mengamalkan ilmu yang sudah dipelajari. Lapangan disini memiliki arti pertamanya (denotatif) yaitu fungsi dalam melakukan berbagai kegiatan santri, juga memiliki arti kedua (konotatif) sebagai representasi dari kehidupan tempat manusia hidup dan beramal.


Gambar 2. Lapangan
Sumber: Arsip Pondok Pesantren Pabelan

Masjid
Kemudian setelah manusia berilmu dan mengamalkan ilmunya manusia tidak boleh lupa dengan Tuhannya, di sebelah barat lapangan terdapat Masjid sebagai representasi kewajiban manusia untuk beribadah. Masjid disini memiliki arti pertama (denotatif) sebagai fungsi yaitu tempat shalat, mengaji, dan ibadah lainnya, kemudian masjid disini juga memiliki arti kedua (konotatif) yaitu sebagai representasi manusia yang sudah beramal tidak boleh lupa dengan Penciptanya dan beribadah.





Gambar 4.1. Masjid Pondok Pesantren Pabelan
Sumber: Arsip Pondok Pesantren Pabelan


Gambar 4.2. Masjid Pondok Pesantren Pabelan
Sumber: Arsip Pondok Pesantren Pabelan

Gambar 4.3. Suasana Masjid pada petang hari
Sumber: Pondok Pesantren Pabelan
 

Gambar 4.4. Interior ruang utama Masjid
Sumber: Pondok Pesantren Pabelan



Gambar 4.5. Bangunan Masjid Pondok Pesantren Pabelan yang masih asli belum mangalami renovasi pada bagian serambi
Sumber: Pondok Pesant

Pada gambar 4.2 sampai 4.5 dapat dilihat pengaruh arsitektur tradisional jawa pada bangunan masjid. Tidak ditemukan ornamentasi atau ragam hias di dalam bangunan masjid.

Makam
Manusia sudah hidup, sudah berilmu, sudah beramal, sudah beribadah kepada Tuhannya pada akhirnya akan kembali juga pada Tuhannya. Di bagian sebelah barat Masjid terdapat Makam sebagai representasi dari kematian yang akan dihadapi oleh setiap manusia yang hidup. Makam disini memiliki arti pertama (denotatif) sebagai fungsinya untuk menguburkan jenazah kemudian juga memiliki arti kedua (konotatif) yaitu sebagai representasi tempat manusia berpulang.


Gambar 5. Makam yang ada di komplek Pondok Pesantren Pabelan
Sumber: Arsip Pondok Pesantren Pabelan

V.                KESIMPULAN
Mengacu pada Semiotika Konotatif milik Zoest kita dapat melihat bahwa ruang mempunyai makna pertama (denotatif) sebagai tempat berkegiatan sesuai masing-masing ruang namun bukan berarti ruang tersebut tidak mengandung arti lain (konotatif).
Pemanfaatan semiotika dalam tata ruang adalah upaya dari creator dalam usahanya menyampaikan pesan, terdapat dialog yang ingin dikomunikasikan kepada masyarakat atau orang lain.
Tata ruang “Perjalanan Sang Matahari” juga mengandung makna-makna Islami yang tidak mengedepankan bentuk fisik melainkan kebermanfaatan, hal tersebut memberikan kesempatan untuk kajian lebih lanjut di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Nurcholis, Madjid. Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta. Paramadina.
Rosidi, Ajip (ed). 2015. Kiai Hamam Dja’far dan Pondok Pabelan: Kesaksian Santri, Kerabat, dan Sahabat. Yogyakarta: Insist Press.
Sahid, Nur. 2016. SemiotikaUntukTeater, Tari, WayangPurwa, dan Film.. Semarang.GigihPustakaMandiri
Source >http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/(diaksestanggal 11Maret 2017, pukul:13.47 WIB)

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3S, Jakarta.

Zoest, Art van. 1993. SemiotikaTentangTanda, Cara KerjanyadanApa yang Kita LakukanDengannya. Jakarta.YayasanSumberAgung.



* Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Semiotika Seni, Dosen Pengampu: Dr. Nur Sahid, M.Hum. Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 2017
[1]Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3S, Jakarta, 1983, hlm.18.
[2] Source >https://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/ (diakses tanggal 11 Maret 2017, pukul 13:47 WIB)
[3]Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 5
[4] Salah seorang alumni Pondok Pesantren Pabelan, seorang penulis dan pernah menjadi wartawan
[5] Rosidi AJip (ed), Kiai Hamam Dja’far dan Pondok Pabelan: Kesaksian Santri, Kerabat, dan Sahabat (Yogyakarta: Insist Press 2015) Hal. 49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FOTOGRAFI SINEMATIK KARYA SAM NUGROHO DALAM KAJIAN SEMIOTIK

  “1939 ! ” FOTOGRAFI SINEMATIK KARYA SAM NUGROHO DALAM KAJIAN SEMIOTIKA ROLAND BARTHES Oleh: Sapta Agus Kristanto dan Bonifaci...